Lemhanas : Lemah Ketahanan Nasional RI

Wednesday 13 Nov 2013, 4 : 02 pm

JAKARTA-Posisi ketahanan nasional NKRI dalam kajian Lemhanas pada 2011-2012 dinilai tidak tangguh, alias rentan terhadap serangan. Kajian ini terungkap dari 33 propinsi  yang diukur melalui semua parameter. “Hasilnya memang dari kajian 33 propinsi ini secara keseluruhan ketahanan nasional kita tidak tangguh,” kata pengajar profesional Lemhanas, May Jen TNI (Purn), I Putu Sastra dalam diskusi “Menata Ulang Sistem Bernegara”, bersama Sekretaris Tim Pengkajian Sistem Kebangsaan RI DPP Partai Gollkar, Agun Gunajar Sudarsa, pengamat politik Yudhi Latif dan anggota DPD RI, AM Fatwa  di Jakarta, Rabu,(13/11).

Menurut Putu, hasil pengkajian ini bersifat kuantiatif, karena masih perlu diurai lagi penyebabnya, apakah karena kultur atau struktur yang salah atau lembaganya yang salah. “Dari hasil pengkajian ini, ketika suatu daerah mendapat raport merah, selalu saja daerah tersebut membantah dengan meminta rincian dari mana parameter penilaiannya,” tambahnya.

Sedangkan bagi daerah dapat raport bagus, katanya, malah senang. Pada umumnya, semua daerah itu meminta nilai yang bagus.  “Ada 8 gatra yang menjadi ukuran ketahanan nasional, diantaranya geografi, demografi, Ideologi, politik, ekonomi, sosial,  kebudayaan dan hakam,” ujarnya.

Pendapat yang sama dikatakan Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar, yang hasil survey dari Partai Golkar, dalam era reformasi ini terdapat kesalahan fatal, baik di lembaga tinggi negara maupun personal sistemnya. “Contohnya, Komisi Yudisial yang meminta kewenangan lebih. Begitu juga dengan MK, termasuk semua lembaga negara  yang akhirnya membuat kacau sistem,” katanya.

Ditegaskan Agun, pada 2014 perlu ada perombakan besar-besaran dalam ketatanegaraan, baik UUD maupun UU.

Perombakan konstitusi ini juga diusulkan Pengamat Politik Universitas Paramadina, Yudhi Latief, karena dia melihat ada kesalahan di dalam amandemen UUD 1945, mengenai fungsi lembaga tinggi negara, seperti MK. “Sistem di AS saja, MK tidak memiliki keputusan penuh yang tak bisa diubah, seperti keputusan Tuhan. Di sana saja, MK itu ada lagi lembaga di atasnya yang mengontrol setiap keputusan yang dihasilkan,” paparnya.

Yudi mengusulkan dalam amandemen nanti, sebaiknya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, yang posisinya bisa memveto hasil keputusan MK. “Mestinya putusan itu MK itu, bisa diveto oleh lembaga tertinggi negara, seperti MPR. Lha, wong konstitusi saja bisa diubah, kok keputusan MK tidak bisa diubah, alias final dan mengikat,” tegasnya.

Untuk merubah itu, kata Yudi, agar MK tidak punya kewenangan penuh lagi,  maka perlu diadakan amandemen UUD kembali. Di AS saja, amandemen konstitusi sudah terjadi 19 kali.  “Hanya saja amandemen itu jangan frontal semua pasal, dilakukan sedikit demi sedikit,” ucapnya.

Hanya saja, sambung Yudi, dalam amendemen ke depan nanti, posisi DPD tetap dipilih oleh rakyat, begitu juga dengan Presiden. Bahkan Yudi mengingatkan hasil amandemen itu, bisa kembali ke UUD 45 yang asli. **cea

Don't Miss

Prof Budiyatna: Kasus Ahok Bernuansa Politik Yang Berkedok Agama

JAKARTA-Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia

DPR Dukung Presiden Beri Amnesti Din Minimi

JAKARTA-Kalangan DPR mendukung rencana Presiden Joko Widodo memberikan amnesti (pengampunan)