Majelis Hakim seperti dikutip Petrus Salestinus, mendasarkan penolakan Permohonan Daryatmo dan Sudding pada Perma No 8 Tahun 2018 yang mengatur tentang syarat formal untuk mengajukan Permohonan Keputusan Fiktif Positif.
Menurut Majelis Hakim PTUN Jakarta bahwa Permohonan Pengesahan tidak boleh memohon untuk membatalkan Keputusan Pejabat yang telah ada dan sedang digugat dalam perkara PTUN atau menjadi obyek sengketa.
Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Permohonan Pemohon (Daryatmo dan Sudding) bukanlah permohonan fiktif positif, dikarenakan ada sengketa kepengurusan yang sedang diperiksa juga di PTUN Jakarta yaitu dalam Perkara Gugatan TUN No.24/G/2018/PTUN.JKT.
Akhirnya Majelis Hakim mengetok palu setelah membacakan amar putusannya yaitu Permohonan Pemohon (Daryatmo dan Sudding) tidak dapat diterima dan menghukum Pemohon (Daryatmo dan Sudding) dan membayar biaya perkara.
“Putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta sekaligus membuktikan bahwa Daryatmo dan Sudding tidak memiliki legal standing untuk mengatasnamakan DPP PARTAI HANURA, menunjukan DPP PARTAI HANURA hasil Munaslub Daryatmo dan Sudding tidak diakui Majelis Hakim dan tidak diakui Menteri Hukum dan HAM,” pungkas Petrus.