Memahami Pembiayaan BPJS Kesehatan Dari Pajak Rokok

Thursday 20 Sep 2018, 8 : 25 pm
by
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang juga Pemerhati Kebijakan Fiskal, Yustinus Prastowo

Oleh: Yustinus Prastowo

Pemerintah menerbitkan Perpres sebagai jalan keluar mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Defisit ini harus segera diatasi dalam jangka sangat pendek karena berpotensi menimbulkan persoalan serius. Pada saat bersamaan harus dipikirkan solusi jangka panjang untuk menjamin kesinambungan pembiayaan dan kualitas jaminan kesehatan yang menjadi hak setiap warga negara.

Perpres ini melakukan earmarking (anggaran yang penerimaan maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan). Ini ide yang win win, karena mengatasi masalah jangka pendek dan tidak menambah beban industri. Di samping itu, rendahnya disiplin anggaran Daerah, khususnya perencanaan dan pengukuran outcome, juga menjadi pertimbangan.

Bagaimana memahami kebijakan ini?

Dari satu batang harga rokok yang kita beli, di dalamnya ada pungutan yang kita bayarkan, dua di antaranya adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok. Dari pungutan CHT yang kita bayarkan, sebesar 2%-nya diberikan kepada provinsi yang penggunaannya di- earmark sesuai UU Cukai No. 39 Tahun 2007 (Pasal 66 ayat 1). Dalam pelaksanaan, dana earmark tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Begitupula dengan pungutan Pajak Rokok, berdasarkan Pasal 31 UU No. 23 Tahun 2009 pungutan atas pajak rokok di-earmark paling sedikit sebesar 50% digunakan untuk mendanai program/kesehatan. Sedangkan dalam alokasinya, ditentukan oleh Menteri Kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
N
amun, dalam pelaksanaanya masih banyak permasalahan dalam implementasi dana earmarking baik DBH CHT dan Pajak Rokok mulai dari masalah administrasi sampai permasalahan pengawasan. Tak pelak, penggunaan dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Disaat yang sama terdapat masalah pendanaan BPJS. Oleh karenanya, menjadikan DBH CHT dan Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat dan cermat.

Untuk merealisasikannya, Pemerintah melalui Menkes menerbitkan Permenkes No.53/2017 yang mengatur 75% dari earmark 50% Pajak rokok untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Bauran Kebijakan Jaminan Kesehatan

Berdasarkan UU No 40/2004, diselenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional, antara lain Jaminan Kesehatan. Di samping itu, Pemda juga menyelenggarakan Jamkesda yang sifatnya pendukung/penunjang SJSN. Jamkesda dibiayai dengan APBD, yang salah satu sumber pendapatannya dari DBH CHT dan Pajak Rokok. Sebagian Daerah sudah mengintegrasikan Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Daerah yang sudah mengintegrasikan Jamkesda-daerah tidak masuk dalam skema earmarking di Perpres ini.

Dengan demikian, Pemerintah perlu menerbitkan sebuah Pilpres yang dapat mengalokasikan sejumlah bagian tertentu untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip earmarking dalam UU Cukai dan UU PDRD, dan merupakan bauran kebijakan Pusat dan Daerah untuk memastikan bahwa seluruh warga masyarakat terjamin kesehatannya. Idealnya memang, alokasi preventif diutamakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

pernyataan Arteria Dahlan, bisa jadi signal bahwa masih ada upaya untuk merevisi UU KPK khusus untuk melindungi sekelompok orang yang dikecualikan dari OTT KPK, tidak hanya terhadap APH tetapi juga bisa melebar kepada Anggota DPR dan orang-orang Partai.

Mengaku-ngaku Tokoh Katolik, TPDI: Polisi Harus Tangkap Antonius Boediono

JAKARTA-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus meminta publik

Said Abdullah: Bansos dan Perlinsos Bukan Kegiatan Amal

JAKARTA-Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengingatkan agar bantuan