Menimbang Arah Kebijakan Nota Keuangan RAPBN 2021

Thursday 30 Jul 2020, 1 : 36 pm
by
Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah

Oleh: MH Said Abdullah

Bulan lalu, pemerintah telah mengajukan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2021.

Percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi adalah tema KEM PPKF 2021 yang diajukan pemerintah ke DPR.

Pada 16 Agustus 2020 nanti, Presiden Joko Widodo akan mengajukan Nota Keuangan (NK) RAPBN 2021 kepada Sidang Umum MPR.

Dalam hemat saya, tahun depan sebaiknya pemerintah memang harus fokus pada percepatan pemulihan ekonomi dan melakukan berbagai transformasi struktural yang berkelanjutan.

Untuk mencapai sasaran pemulihan ekonomi dan transformasi struktural yang berkelanjutan, pemerintah harus menyusun RAPBN yang kredibel dalam membaca masalah pada tahun 2021.

Sebagai pedoman menyusun NK RAPBN 2021, hasil pembahasan KEM PPKF 2021, pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi makro yang dijadikan rujukan pemerintah dalam menyusun APBN 2021.

Asumsi makro ekonomi 2021 kesepakatan DPR dan pemerintah antara lain, target pertumbuhan ekonomi 4,5% – 5,5%, inflasi 2% – 4%, nilai tukar Rupiah terhadap USD Rp 13.700 – Rp14.900, suku bunga SBN 10 Tahun 6,29% – 8,29%.

Sedangkan untuk target pembangunan, disepakati tingkat pengangguran terbuka 7,7% – 9,1%, tingkat kemiskinan 9,2% – 9,7%, Indeks Gini Rasio 0,377 – 0,379, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 72,78 – 72,95.

Selain itu, disepakati juga indikator pembangunan yaitu Nilai Tukar Petani (NTP) di kisaran 102 – 104 serta Nilai Tukar Nelayan (NTN) di kisaran 102 – 104.

Pada 20 Juli 2020 yang lalu, saya selaku Ketua Badan Anggaran DPR telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan fiskal ekspansif-konsolidatif pada tahun 2021.

Ekspansif artinya membuka ruang fiskal yang lebih luas, konsolidatif artinya terorganisirnya kebijakan belanja Kementrian dan Lembaga untuk disiplin mencapai target, serta akuratnya bauran kebijakan fiskal dan moneter.

Untuk menopang target ini, saya menyarankan ruang fiskal bisa diperluas dengan dukungan kebijakan utang yang dinaikkan, dari 36 persen menjadi 40-42 persen PDB dan defisit fiskal pada kisaran 5,2 – 5,5%.

Pertimbangan saya diatas, berpijak atas asumsi belum pulih sepenuhnya perekonomian kita dan dunia hingga akhir tahun 2020 sebagai akibat pandemi covid-19 yang panjang.

Hal ini berkonsekuensi belanja pemerintah yang besar diharapkan sebagai penggerak, serta bauran kebijakan fiskal dan moneter sebagai insentif bagi pelaku ekonomi, sekaligus ruang berbagi beban antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam skema burden sharing.

Lantas apa yang harus jadi fokus pekerjaan kita pada tahun depan, khususnya kebijakan fiskal kita?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

8.157 Desa di 76 Kabupaten Telah Cairkan BLT Dana Desa

JAKARTA-Sebanyak 8.157 desa yang tersebar di 76 kabupaten, telah melakukan
Keseriusan pemerintah terkait dengan Green Economy ditandai dengan akan dibangunnya Green Industrial Park seluas 20.000 ha yang berada di Kalimantan Utara pada bulan depan.

Terima Lemhannas RI: Presiden Tegaskan Kembali Soal Green Economy

JAKARTA-Presiden Joko Widodo menegaskan kembali kekayaan alam Indonesia harus dikelola