Menimbang Arah Kebijakan Nota Keuangan RAPBN 2021

Thursday 30 Jul 2020, 1 : 36 pm
by
Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah

Perlu kejernihan pemikiran agar kebijakan yang kita susun pada tahun depan akurat mengurai kusutnya masalah.

Saya menyarankan APBN 2021 fokus pada beberapa hal:

Pertama; menjaga kelangsungan program Bantuan Sosial (Bansos) yang beragam. Program ini untuk menjaga daya beli rumah tangga kelompok bawah.

Kebijakan ini harus ada dengan pembaruan data dan efisiensi penyaluran. Sehingga program Bansos efektif sebagai automatic stabilizer.

Kedua: intervensi hulu sampai hilir pada sektor UMKM, khususnya sektor primer dan ekspor, mengingat sumbangsih UMKM pada PDB sebesar 60%.

Evaluasi kita terhadap intervensi sektor UMKM pada tahun ini adalah keterlambatan penyaluran likuiditas.

Pembatasan sosial dimulai Per Maret 2020, tetapi penyaluran bantuan likuiditas untuk UMKM melalui penempatan dana pemerintah pada perbankan baru mulai Juli 2020.

Keterlambatan bantuan ini berkonsekuensi keterlambatan pemulihan.
Per Juli 2020 survei ADB, dari 60 juta UMKM sebanyak 48,6% diantaranya sudah tutup usaha.

Ketiga: membuka akses pembiayaan sektor UMKM melalui bursa saham UMKM yang aksesibel di lantai bursa agar pembiayaan tidak bertumpu pada dana APBN yang terbatas.

Bursa saham kita terlalu bias usaha besar. Tidak mengherankan bisa emiten tidak bertambah signifikan dari tahun ke tahun.

Lantai bursa keuangan perlu di isi oleh kelompok usaha skala UMKM. Otoritas bursa tinggal memastikan kelayakan dan kesehatan usaha, sekaligus prospek bisnisnya.

Keempat: mitigasi terhadap seluruh resiko keuangan yang dihadapi oleh BUMN. Sebab kegagalan aksi korporasi BUMN ditahun sulit seperti saat ini, apalagi BUMN strategis akan berkonsekuensi pada penggunaan APBN sebagai “last resort”.

Secepatnya pula, pada tahun ini seluruh tanggungan pemerintah terhadap BUMN segera di selesaikan, sehingga pertanggungan tidak berefek hingga tahun depan.

Kelima: kebijakan fiscal ekspansif melalui penambahan utang pemerintah pada tahun depan harus mampu dikompensasi dengan peningkatan rasio penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak.

Berbagai kemudahan dan insentif perpajakan tahun depan harus mulai selektif.

Hanya sector-sektor strategis dan perlu recovery dari dampak covid-19 yang mendapat fasilitas perpajakan.

Target penambahan penerimaan pada tahun depan sebagai bukti belanja pemerintah harus punya dampak ekonomi.

Salah satu ukuran punya dampak ekonomi adalah bertambahnya basis penerimaan kita.

Bila rasio utang naik, tapi rasio penerimaan tidak naik dalam beberapa tahun fiskal menandakan belanja pembangunannya tidak produktif.

Kita memaklumi, penerimaan tahun ini, khususnya sektor perpajakan turun. Turunnya perpajakan tahun ini memang kita rencanakan.

Penurunan penerimaan perpajakan tahun ini juga sebagai konsekuensi dari fasilitas perpajakan yang kita gunakan untuk membantu pelaku usaha.

Namun capaian rasio pajak kita memang cenderung menurun beberapa tahun ini.

Sekedar mengingatkan, rasio perpajakan kita beberapa tahun terakhir cenderung turun sejak tahun 2012 sampai sekarang.

Tahun 2012 rasio perpajakan kita sempat 14% PDB, terus melandai 2014 menjadi 13,1%, 2017 menjadi 10,1% dan tahun 2019 menjadi 9,7%.

Sebaliknya rasio utang malah naik, akibat covid-19 kita naikkan sampai 36% pada tahun ini.

Maka kenaikan rasio utang harus mampu dibayar pemerintah dengan kenaikan rasio penerimaan mulai tahun depan.

Keenam: bauran kebijakan fiscal dan moneter, terutama skema burden sharing pada tahun depan perlu di kembangkan kerjasamanya antara pemerintah dan BI.

BI juga harus lebih antisipastif dalam kebijakan currency, dan devisa, sebab pertumbuhan PDB kita yang signifikan seolah tiada arti bila tergerus oleh selisih kurs yang tajam depresiasinya.

Per Desember 2010, kurs transaksi BI masih pada level rata-rata Rp 9.000/USD, kini Juli 2020 pada kisaran Rp 14.600/ USD.

Ketujuh: skema partisipasi pembiayaan, khususnya yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) harus mulai melibatkan seluas-luasnya rakyat.

Secara perlahan mengurangi proporsi kepemilikan asing untuk mengurangi resiko ekonomi dan politik.

Jepang rasio utangnya terhadap PDB mencapai 230%.

Namun surat utang Jepang dijual ke rakyatnya sendiri lebih dari 70%.

Kementrian Keuangan dan BI sebaiknya lebih agresif mendorong pembelian SBN kita dominan dimiliki rakyat sendiri.

Literasi dan kemudahanpembelian SBN perlu difasilitasi kemudahannya.

Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kaum Muda Memiliki Peran Strategis Membangun Masa Depan Kota

JAKARTA-Kaum muda memiliki peran strategis di dalam membangun masa depan

Pameran Hasil Litbang Industri Tahun 2013 di Kemenperin

JAKARTA-Pada era globalisasi dan perdagangan bebas, daya saing industri di