JAKARTA-Prihatin atas berbagai fenomena di mana banyak kelompok yang cenderung ingin memberantakkan kepelbagaian bangsa Indonesia, Emanuel Dapa Loka menulis puisi berjudul Pada Tiang Matahari. Puisi ini kemudian dilombakan dalam lomba baca puisi di antara orang Sumba, NTT di mana pun berada. Setiap peserta tinggal merekam aksinya membaca puisi dengan kamera video lalu dikirimkan kepada panitia di Jakarta. “Selamanya kita akan tetap menjadi bangsa Indonesia dengan segala keberagaman yang ada. Kita lahir dan kuat sebagai bangsa karena keberagaman itu. Janganlah kita mengoyak-ngoyak persaudaraan kita dengan keinginan-keinginan sempit,” ujar pria yang mengaku sebagai “penyair kambuhan” ini.
Menurutnya, kita mudah mengatasanamakan agama, suku, ras, golongan untuk mendiskreditkan saudara kita sebangsa. “Ada dari antara kita yang merasa superior atas yang lain lalu secara beringas hendak memaksakan kehendak. Amat purba kita, jika di zaman semacam ini masih ada yang memaksakan kehendak. Tidak ada pilihan lain, kita harus merawat keindonesiaan kita,” tambahnya. Melalui puisi tersebut, Emanuel hendak menyentuh dan mengajak setiap anak bangsa untuk merenung dan sadar tentang makna penting kebangsaan kita.
Lomba baca puisi tersebut sebagai rangkaian Natal dan Tahun Bersama warga Sumba, NTT di Jabodetabek yang puncaknya dilaksanakan di Bumi Perkemahan Cibubur pada 28 Januari 2017. Pada perayaan puncak ini dilakukan pengumuman juara. Para juara adalah Anastasia Talu Tadi dari Waingapu, Sumba Timur. Dususul oleh Bene Dalupe (Depok), Rini Bato (Jakarta) dan Maria Goreti Mandja (Jakarta) dan Yosef Bulu Kadi (Bogor) sebagai peserta terkocak.
Pada Tiang Matahari
Oleh Emanuel Dapa Loka
Di sini, di sudut-sudut negeri ini ada kami berjaga
Dari tempat mentari mulai menghangatkan tubuh
Dan ke arah dia akan membenamkan kepalanya, ada kami berdiri
Inilah Indonesia Raya….!!
Kami membusungkan dada sebagai bangsa
karena cinta dan jiwa teramat mulia dari mereka
yang “terbaring” dari Aceh sampai Papua
Ya, karena mereka menumpahkan darah dan melepas nyawa:
dari balik-balik bebukitan
dari lembah dan rimba-rimba
dari antara rerimbunan jumput-jumput ilalang
dari antara jerit dan tangis anak mereka
yang laparnya tak pernah tuntas
Di sini, di sudut negeri ini ada kami berdiri
Berdiri bersama Abdullah
Menggandeng tangan si Ucok
Sebantal dengan Siau Tjung
Memeluk Fransiskus
Sedegup jantung dengan Giyai
Bersandar pada pundak Made
Berbisik pada telinga Salampak
Ya, kami lahir dari rahim yang sama bernama Indonesia
Karenanya tak mungkin kami mencabik rahim
yang nyaris telah kehilangan darah dan nyawa
Kami pun tak mungkin dipisahkan hanya karena:
Si Siti memanggil Tuhannya Allah
Si Yohanes menyebut Allahnya Yesus
Si Nyoman berseru kepada Hyang Widi Wase
Si Aseng mengangkat-angkat dupa wanginya
Si Bili melafalkan Khaliknya Marapu dan seterusnya-seterusnya…
Dan kini ingat!
Jangan lagi kau suruh kami memburu saudara kami
Jangan pula menjebak kami merebut makan siang sepupu kami
Kami tak mudah lagi kau tipu dengan manis kata dan cabang lidahmu
Sebab kami telah siuman dan kami tahu:
Kami semua adalah anak kandung negeri ini
Ibu kami bersama bernama Indonesia
merasakan sakit yang sama saat melahirkan kami
Maka baiknya, dengarlah seru kami!
Daripada kau merebut jatah si iblis
Bergegaslah memutar haluan sebelum nafasmu
yang sudah tersengal itu pupus di pengkolan
dan nikmatmu musnah
Wahai sesama anak pertiwi, sesama anak cucu Adam…!
Meski kita menapaki jalan berbeda
Bergerak beriringlah menuju Cinta yang telah lama menanti
Dia akan menjemput dan memeluk kita
Dan di sanalah seruan teramat indah terucap dari bibir kita:
Alhamdulillah…! Puji Tuhan….!
Ya, karena pada tiang matahari yang sama kita bersandar!