Monopoli Harga Obat, Jadi Akar Masalah Defisit BPJS

Monday 18 Mar 2019, 6 : 52 pm
by
photo dok antara

Monopoli Obat dan BPJS Kesehatan

Setidaknya untuk menekan defisit dan tidak menghilangkan tanggungan obat-obatan penyakit katastrofik, BPJS Kesehatan dapat mengurangi pengadaan obat-obatan paten yang harganya mahal dan mensubstitusikannya dengan versi generiknya yang lebih murah.

Namun demikian hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan.

IGJ menilai, bahwa faktor yang menyebabkan hal tersebut sulit untuk dilakukan antara lain, karena: (1) Tidak adanya versi generik dari obat-obatan kanker tersebut; (2) Monopoli paten dan teknologi oleh perusahaan farmasi transnasional dalam produksi obat-obatan kanker; (3) Ada obat-obatan yang tidak diregistrasi di BPOM; dan (4) Belum Efektifnya keberadaan Formularium Nasional (FORNAS) dan e-Catalogue yang digunakan sebagai dasar dari pengadaan obat-obatan BPJS Kesehatan.

Bahwa saat ini beberapa jenis obat-obatan kanker generasi terbaru merupakan obat-obatan biologis. Namun demikian baik paten maupun teknologi obat-obatan ini dimonopoli oleh perusahaan farmasi transnasional.

Akibatnya selain obat-obatan ini tidak dapat diproduksi versi generiknya (dikenal juga sebagai biosimilar atau biogenerik), proses produksinya sangat kompleks dan biayanya mahal. Menjadikan perusahaan farmasi transnasional dapat menjual obat-obatan ini dengan harga yang sangat tinggi.

Lalu, bukan hanya obat-obatan biologis, tetapi juga banyak obat-obatan yang patennya dimonopoli oleh perusahaan farmasi transnasional tidak beredar di Indonesia.

Hal ini karena mereka tidak mendaftar atau meregistrasi obat-obatannya di BPOM. Sehingga menjadikan obat-obatan yang diproduksinya tidak dapat dipasarkan di Indonesia.

Ada beberapa pertimbangan kenapa perusahaan farmasi enggan untuk melakukan itu.

Pertama, perusahaan farmasi melihat dari potensi pasar yang dimiliki.

Tidak hanya berdasarkan besarnya jumlah populasi, tetapi juga berdasarkan pendapatan dan daya beli perkapita untuk layanan kesehatannya.

Kedua, diukur berapa besar anggaran kesehatan suatu negara termasuk yang digunakan untuk pembiayaan sistem jaminan kesehatannya. Ketiga, dilihat dari keberadaan industri farmasi di negara tersebut.

Terutama dalam kapasitas mereka untuk memproduksi obat-obatan, khususnya versi generik dari obat-obatan yang mereka produksi.

Berdasarkan ketiga hal di atas perusahaan farmasi transnasional akan enggan untuk memasarkan obat paten produksinya di Indonesia.

Meski adanya peningkatan pendapatan dan penambahan jumlah kelas menengah yang signifikan dalam 10 tahun terakhir, tidak serta merta meningkatkan permintaan untuk obat-obatannya.

Sebab perdapatan perkapita Indonesia hanya US$ 3,540 atau sepersepuluh dari pendapatan perkapita negara-negara Uni Eropa yang mencapai US$ 32,778. Sebab hal itu akan berpengaruh terhadap daya beli perkapita untuk pembelian layanan kesehatan, termasuk obat di dalamnya.

Selain itu dengan komposisi penduduknya yang didominasi usia muda, kebutuhan akan obat-obatan untuk pengobatan katastrofik dianggap masih rendah.

Dari 2200 triliun rupiah APBN tahun 2018, anggaran kesehatan hanya 110 triliun rupiah.

Sedangkan jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan hanya 2,8% dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 USD perkapita.

Idealnya anggaran kesehatan minimal 10% dari GDP.Jelas dengan angka sekecil itu perusahaan farmasi transnasional tidak tertarik untuk memasarkan obatnya di Indonesia.

Hal itu pula yang menjelaskan mengapa perusahaan farmasi masih menjadikan Amerika Utara dan Uni Eropa sebagai pasar pentingnya. Terkahir meskipun tidak menerapkan aturan perlindungan kekayaan intelektual yang ketat, tetapi kapasitas industri farmasi Indonesia masih rendah.

Khususnya dalam hal ini untuk memproduksi versi generik obat-obatan paten.

Berbeda misalnya dengan India, dimana perusahaan farmasi berkepentingan untuk memasarkan obat produksinya selain juga mendaftarkan patennya.

Hal ini karena kapasitas industri farmasi India sudah cukup tinggi.

Sehingga perusahaan farmasi transnasional khawatir bahwa obat paten produksinya akan kalah bersaing dengan obat generik produksi India.

Dalam pengadaan obatnya, Pemerintah harus menetapkan daftar dan harga obat yang dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan, sehingga lahirlah Formularium Nasional (FORNAS) dan mekanisme pembelanjaan obat melalui e-Catalogue.

FORNAS sebagai kendali mutu, adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam JKN.

Sedangkan E-catalogue obat merupakan mekanisme pembelian obat melalui aplikasi e-purchasing yang berperan untuk mengendalikan harga obat FORNAS tersebut.

Namun pada implementasinya, keberadaan FORNAS maupun e-catalogue tidak mampu menekan tingginya harga obat-obatan.

Ini terlihat dari persentase obat generik yang digunakan dalam Fornas atau e-catalagoe hanya berkisar 17%, masih kalah jauh dari jumlah peredaran obat paten. Akibatnya BPJS Kesehatan harus membayar obat yang harganya lebih mahal antara 5-85 kali.

Lalu, terdapat regulasi yang bertentangan terkait penggunaan obat sehingga menimbulkan kebingungan acuan di tingkat fasilitas kesehatan.

Selain itu belum adanya dorongan secara regulasi untuk membuat Rumah Sakit menggunakan FORNAS pada persentase minimal dalam formulariumnya.

Ditambah lagi belum semua obat di FORNAS dapat muncul di e-Catalogue untuk dasar pembayaran klaim obat oleh BPJS Kesehatan.

Terakhir yang sangat krusial adalah kelemahan aplikasi e-Catalogue. Hal ini dapat terlihat dari tidak ada informasi stok dan status pemesanan obat, tidak dibukanya akses bagi faskes swasta sebagai rekanan JKN, tidak terintegrasinya e-Catalogue dengan e-money obat Kementerian Kesehatan untuk menghasilkan data valid yang dapat digunakan sebagai dasar monitoring dan evaluasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Sambut 2020, Komisi VI DPR Soroti Soal UU BUMN dan KPPU

JAKART-Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mochamad Hekal mengungkapkan, ada

Impor Mei 2013 Capai USD 16,7 M

JAKARTA-Wakil Menteri Perdagangan RI  Bayu Krisnamurthi impor bulan Mei 2013