New Normal Pendorong Aktivitas Ekonomi

Saturday 13 Jun 2020, 2 : 08 pm
by
Portfolio Manager - Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Andrian Tanuwijaya

Oleh: Andrian Tanuwijaya

Setelah di bulan Maret mengalami penurunan tajam, secara bertahap pasar finansial global bergerak menguat mendekati level tertingginya di tahun ini. Sebagai contoh, S&P 500 yang sempat anjlok -34%, per tanggal 5 Juni hanya tertinggal 6% dari level tertingginya di bulan Februari.

Optimisme new normal yang ditandai dengan dibukanya kembali aktivitas ekonomi di berbagai belahan dunia tampaknya menjadi pendorong utama.
Apa komentar Anda akan hal ini?

Betul, penguatan yang terjadi akhir-akhir ini memang sebagian besar didorong oleh harapan pemulihan perekonomian dari pembukaan kembali ekonomi.
Aktivitas ekonomi yang berada dalam kondisi ‘koma’ selama periode lockdown, sekarang mulai ‘bangun’ perlahan-lahan.

Beberapa high frequency data yang dirilis di Amerika Serikat – seperti Jobless Claims, Continuing Claims dan PMI – menunjukkan bahwa dampak ekonomi terburuk pandemi COVID-19 tampaknya sudah dilewati.

Meskipun rilis data ekonomi ke depan masih akan lemah, namun tingkat pelemahannya sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan data bulan April.

Beberapa saham siklikal yang sebelumnya terpukul selama krisis COVID-19 kembali menguat karena akan mendapatkan keuntungan dari dimulainya kembali aktivitas ekonomi.

Pemulihan aktivitas ekonomi yang disertai dengan perubahan struktur biaya perusahaan yang menjadi lebih efisien selama masa pandemi diharapkan dapat memperbaiki earnings perusahaan ke depannya.
Memulihkan produktivitas masyarakat dengan tetap mengendalikan penyebaran pandemi menjadi sangat penting di dalam periode new normal ini.

Jadi penguatan pasar saham global pemicunya adalah perbaikan fundamental bukan eforia semata?

Karena alasan utama penguatan pasar saham global lebih didorong oleh harapan pemulihan ekonomi akibat pelonggaran lockdown, sepertinya penguatan ini lebih banyak didorong oleh faktor fundamental dibandingkan eforia semata, karena berkaitan erat dengan potensi perbaikan earnings perusahaan.

Walapun demikian, tetap ada beberapa faktor risiko yang harus dicermati saat ini, antara lain potensi pandemi gelombang kedua jika periode new normal ini tidak disertai dengan menajemen pengendalian penyebaran pandemi yang baik, dan meningkatnya retorika AS – China khususnya menjelang pemilu Amerika Serikat bulan November nanti.

Jika berbicara optimisme pembukaan aktivitas ekonomi, maka ada baiknya kita juga membahas China sebagai gambaran dari negara pertama yang sukses menangani COVID-19. Bagaimana perkembangan ekonomi China setelah perekonomian dibuka kembali?

Beberapa data terkini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi China secara bertahap mulai menggeliat. Sektor manufaktur dan jasa selama tiga bulan terakhir ini berada dalam fase ekspansi.

Data lainnya seperti okupansi kantor, konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik, konsumsi minyak dan penjualan mobil bahkan sudah kembali ke level sebelum terjadinya pandemi.

Akan tetapi supaya pertumbuhan ekonomi pulih seperti sebelum terjadinya pandemi tentu membutuhkan waktu, itulah sebabnya dalam Kongres Nasional Pemerintah China – pertama kalinya dalam tiga dekade-pemerintah tidak menetapkan target pertumbuhan PDB di 2020 dengan alasan faktor ketidakpastian yang sulit diprediksi berkaitan dengan COVID-19 dan menggeser fokus stimulus pada penciptaan lapangan kerja dan investasi.

Bagaimana dengan kondisi kesehatan ekonomi Indonesia di tengah wabah COVID-19?

Beberapa indikator yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi – seperti inflasi inti, penjualan ritel, konsumsi rumah tangga & keyakinan konsumen – menunjukkan pelemahan. Kebijakan pembatasan aktivitas sosial guna mengendalikan penyebaran COVID-19 sangat memukul konsumsi domestik yang selama ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk pertama kalinya konsumsi domestik tumbuh <3%. Hal inilah yang kemudian membuat PDB Indonesia pada kuartal satu hanya tumbuh 2,97% YoY.

Sementara indikator ekonomi yang berkaitan dengan stabilitas – seperti defisit neraca berjalan, volatilitas rupiah, cadangan devisa & persepsi risiko – menunjukkan perbaikan.

Perbaikan indikator stabilitas ekonomi mengkonfirmasi membaiknya kondisi fundamental Indonesia.

Menjaga stabilitas perekonomian menjadi sangat krusial mengingat kebutuhan pembiayaan pemerintah yang tinggi di tahun ini.

Sindrom FOMO alias Fear of Missing Out sedang dirasakan oleh banyak investor domestik yang belum sempat menikmati kenaikan pasar saham Indonesia. Apakah menurut anda saat ini masih merupakan waktu yang tepat untuk masuk berinvestasi di pasar saham?

Secara fundamental pasar saham Indonesia masih menawarkan peluang yang menarik. Valuasi saat ini -1 standar deviasi dari periode 10 tahun terlihat sangat menarik.

Disamping itu, memperhitungkan proyeksi pertumbuhan earnings tahun ini yang merupakan salah satu yang terendah di kawasan, dibandingkan dengan kinerja tahun berjalan IHSG per 3 Juni yang sudah turun – 21%, tampaknya potensi downside risk pasar saham Indonesia sudah semakin terbatas.

Sama halnya dengan bursa saham global, penguatan pasar saham Indonesia juga didorong oleh optimisme investor terhadap pembukaan ekonomi secara bertahap.

Tentu kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa cepat ekonomi dapat pulih setelah perekonomian kembali dibuka. Kami cukup meyakini bahwa Indonesia – dengan konsumsi domestik yang menjadi kontributor utama ekonomi – dapat mengalami pemulihan relatif lebih cepat.

Atas dasar hal itu, saat ini keberhasilan penanganan COVID-19 benar-benar menjadi menjadi kunci utama kembalinya keyakinan investor di pasar saham.

Pandemi COVID-19 tentu berdampak buruk pada earnings di tahun ini, bagaimana dengan outlook earnings di tahun depan, apakah sudah ada gambarannya?

Earnings tahun 2021 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang positif dikarenakan low base effect di tahun 2020. Pertumbuhan earnings pada umumnya akan sejalan dengan pertumbuhan PDB, dan berdasarkan proyeksi baik lembaga internasional ataupun pemerintah Indonesia, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan pulih di tahun 2021.

Akan tetapi memang besaran dari tingkat pemulihan pertumbuhan ekonomi masih belum pasti, karena apa yang kita alami saat ini berkaitan dengan pandemi global, kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya di jaman modern. Tidak ada kejadian di masa lalu yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur atau pembanding yang tepat untuk dapat mengevaluasi apa yang dialami saat ini.

Oleh sebab itu memang agak sulit untuk dapat memproyeksikan besaran angka pertumbuhan laba perusahaan bukan hanya untuk tahun 2021, namun juga untuk tahun 2020 ini. Kondisi ini sesungguhnya menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi investor di pasar saham.

Apa strategi investasi yang anda terapkan guna mendorong kinerja portofolio di tengah masih berlangsungnya pandemi COVID-19?

Meskipun faktor ketidakpastian terkait dengan pandemi ini masih relatif tinggi, saat ini kondisi sudah jauh membaik jika dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu.

Hal inilah yang mendasari penentuan strategi investasi kami, dimana secara bertahap penempatan portofolio dialokasikan kepada beberapa sektor siklikal – seperti finansial & consumer discretionary – yang selama tiga bulan terakhir mengalami tekanan akibat pandemi COVID-19.

Di samping itu kami akan terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali.

Penulis adalah Portfolio Manager – Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Strategi Investasi di Tahun Pemilu

Oleh: Katarina Setiawan Masyarakat Indonesia bersiap menyambut pesta demokrasi 2024,

Ajak Masyarakat Demo Tolak Perppu Ormas, Yusril Kekanak-kanakan

  JAKARTA-Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra