JAKARTA– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus lebih berani menerapkan kewenangan untuk menghukum pelaku tindak penipuan dengan mengganti kerugian.
“Mengharapkan keberanian OJK untuk menghukum para pelaku kejahatan untuk mengganti kerugian bukan hanya denda,” kata Wakil Bendahara Indonesian Risk Professional Assosiation (IRPA) Gandung Troy di Jakarta, Senin,28/1/2013.
Lebih jauh kata Gandung, tindak penipuan yang dilakukan oleh perusahaan maupun individu, saat ini kalau diproses melalui jalur hukum bisa melewati jalur pidana dan perdata.
Namun kedua jalur hukum tersebut tidak bisa menjamin penggantian kerugian yang dialami oleh nasabah.
“Diperiksa sama penyidik, dinyatakan bersalah, tapi paling cuma dikenakan denda, kalau tindak kejahatan, diserahkan ke polisi dan dipenjarakan. Terus uang yang dilarikan kemana?” jelasnya.
Dikatakan Gandung, tak adanya perundang-undangan yang mewajibkan pengembalian kerugian akibat tindak penipuan, membuat kasus kejahatan keuangan semakin marak terjadi.
“Itu yang dorong kejahatan ini semakin lama semakin besar, tidak ada suatu yurisprudensi,” tambahnya
Gandung mencontohkan kasus pembobolan deposito Elnusa yang terjadi beberapa waktu silam. Bank Indonesia menetapkan akan mengganti dana nasabah bila sudah ada keputusan pengadilan.
Padahal menurut dia, kasus tersebut seharusnya bisa diselesaikan oleh OJK sebagai regulator.
“Itu seharusnya sudah bisa diputuskan oleh regulator,” ujarnya
Lebih lanjut dia mengatakan bila OJK mau menggunakan kewenangannya itu, akan menyebabkan efek jera bagi para pelaku.
Dia menambahkan, kasus penipuan dalam skala internasional mencapai rata-rata lima persen dari aset keuangan yang diawasi.
“Standar internasional fraud biasanya rata-rata setahun lima persen dari aset yang diawasi,” imbuhnya. **can