Isna Fatimah, Deputi Direktur bidang Pengembangan Program ICEL mengatakan, RUU Cipta Kerja (omnibus law) mengindikasikan kemunduran dalam pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang seharusnya melandasi perekonomian nasional sesuai UUD 1945.
Selain itu, pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja juga menyalahi prinsip non-regresi yang erat kaitannya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, di mana suatu negara tidak boleh menentukan aturan yang berakibat kemunduran pada instrumen pengaman hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pencegah dan pengendali dampak lingkungan hidup.
Beberapa pengaturan dalam RUU ini akan berimplikasi pada ketidakpastian aturan dan implementasi uji kelayakan lingkungan hidup, melemahnya instrumen pencegahan lingkungan hidup dengan dihapusnya izin lingkungan, dan pembatasan partisipasi publik.
Pada akhirnya, pengaturan ini akan menghambat investor untuk patuh terhadap standar kepatuhan lingkungan hidup dan sosial yang ditetapkan lembaga keuangan internasional.
Padahal, lembaga keuangan internasional sebagai aktor yang mengemban tanggung jawab menerapkan tata kelola yang baik untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, sangat berkepentingan dalam menjaga terpenuhinya standar tersebut sesuai tuntutan dari masyarakat internasional.
“Masyarakat Indonesia telah ramai mempertanyakan keputusan DPR RI yang memprioritaskan Omnibus Law dibandingkan menyelamatkan sumber daya manusianya. Pandemi COVID-19 yang memberikan kesempatan Indonesia untuk membangun ekonomi baru berbasiskan sumber daya manusia, justru digunakan Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi “race to the bottom,” melanggengkan perekonomian pada ekstraksi sumber daya alam tak terbarukan, terutama bahan bakar fosil dan hutan.”