Gabril melanjutkan, dari perhitungannya sebelum adanya pengetatan imigrasi ini, kerugian majikan ini sekitar Rp. 25 juta per PMI.
Selain itu, tanpa pengetatan imigrasi, kalaupun ada PMI yang berhasil masuk dan bekerja di Malaysia, karena tidak kompeten, akan menjadi sumber kekerasan majikan karena kesal sudah membayar mahal PMI untuk datang ke Malaysia.
Data ISC yang kami dapat mencatat tahun 2018 yang berhasil mendapat lulus tes sidik jari di Indonesia di kantor ISC di Indonesia yaitu 86.405 (95%) sementara yang gagal 4.432 (5%).
Di tahun 2019, jumlah yang berhasil tes sidik jari yaitu 74.167 (94%) dan yang gagal 4.608 (6%).
“Dari data ISC selama 2 tahun ini kita melihat ada 9.040 PMI gagal tes sidik jari. Ini berarti, P3MI tidak perlu melanjutkan proses selanjutnya,” papar Gabriel.
Gabriel mencontohkan, sebelum berangkat setiap PMI wajib direkam datanya melalui biometrik di kantor-kantor ISC dan kantor P3MI di seluruh Indonesia.
Nah, setelah dicek datanya PMI itu bermasalah, maka hari itu juga PMI tidak akan mendapatkan visa, Ini berarti Perusahaan Penempatan PMI tidak perlu melanjutkan proses dokumennya.
Masukan MoU
Direkrut PADMA melanjutkan terkait MoU yang diharapkan tahun 2020 akan segera dilakukan ada beberapa point yang perlu dimasukkan.
Pertama, yaitu evaluasi kebijakan pengurusan visa di kedutaan Malaysia melalui lembaga bernama OMNI yang meminta biaya pengantaran dokumen (one stop service) sebesar Rp1 juta bagi PMI.
PADMA meminta agar Menaker meminta pemerintah Malaysia agar mencabut izin OMNI karena hal ini merugikan P3MI.
Apalagi OMNI selama beroperasi lebih dari 5 tahun lebih ini setiap diundang rapat BNP2TKI maupun Kemanaker tidak pernah mau hadir.