Kasus Henry dan Iuneke ini bermula dari laporan Direktur PT Graha Nandi Sampoerna ke Polrestabes Surabaya pada bulan Oktober 2018, yakni laporan tindak pidana dugaan pemalsuan surat atau membuat akte palsu dan atau memalsukan keterangan palsu dalam akte otentik. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP dan atau pasal 264 KUHP dan atau pasal 266 KUHP.
Kronologis perkara dimulai dari pembuatan 2 akte yakni perjanjian pengakuan hutang dan personal guarantee yang dibuat oleh PT Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi hutang dan Henry Jocosity Gunawan sebagai penerima hutang di hadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 Juli 2010 dihadiri juga oleh Iuneke Anggraini.
Dalam kedua akte tersebut Henry Jocosity Gunawan menyatakan mendapat persetujuan dari istrinya yang bernama Iuneke Anggraini, bahkan Iuneke pun ikut bertandatangan di hadapan notaris saat itu.
Belakangan terungkap bahwa perkawinan antara Henry Jocosity Gunawan dengan Iuneke Anggraeni baru menikah pada tanggal 9 November 2011 dan dilangsungkan di salah satu wihara di Surabaya dan dicatat di Dispenduk cCapil pada 9 November 2011.
Fakta tersebut tidak sesuai dengan akte perjanjian pengakuan hutang dan personal guarantee yang dibuat pada tanggal 6 Juli 2010, dimana Henry menyatakan telah menikah dengan Iuneke Anggraini pada tahun 2010 saat akte dibuat, padahal baru menikah pada tahun 2011.
Pelapor merasa dirugikan baik secara materiil dan immateriil karena jika mengetahui Henry Jocosity Gunawan dan Iuneke Anggraini belum menikah, maka PT Graha Nandi Sampoerna pasti tidak mau memberikan pinjaman uang sebesar Rp 34 Miliar kepada Henry Jocosity Gunawan.