Paulus mengingatkan, adanya keragaman terkait keyakinan keagamaan, bahkan di dalam satu agama ada beragam tafsiran, maka apabila negara mendengar dan mengambil satu tafsir agama tertentu artinya negara telah berlaku diskriminatif.
Paulus mencontohkan Pasal 315 memang tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya. “Masalahnya adalah kata “hasutan” multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak bahkan orang yang tidak beragama sebagai sebuah keyakinan,”terangnya.
Lanjut dia, Kata “meniadakan agama” juga membingungkan karena dapat berarti seluruh agama, atau hanya satu agama, dan/atau keyakinan di dalam agama. Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia.
Sementara itu, Direktur LBH Bandung Harold Pattianakota mengatakan, Pasal 316 tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung sebenarnya memiliki maksud yang baik.
“Hanya saja kata “gaduh” dapat multi tafsir terkait sebesar apa suara sehingga dapat dikatakan gaduh,”katanya.
Harold mengemukakan, Pasal 503 tentang pencurian benda suci keagamaan yang menjadi pemberatan. Apakah ada derajat di antara benda suci keagamaan, misal suatu patung dengan gelas. Pertanyaan lainnya adalah apa kategori benda suci keagamana? Apakah kalung berlambang keagamaan tertentu masuk benda suci keagamaan?
“Kami juga menyoroti, pertama, pembahasan RKUHP yang tidak terbuka sehingga menyulitkan masyarakat dan lembaga keumatan yang hendak berpartisipasi,”ujarnya.