Penurunan Harga BBM Tak Menolong Ekonomi Yang Lagi Sekarat

Thursday 8 Oct 2015, 6 : 29 pm
by
Utang global bond ini jika terealisasi semuanya maka nilainya mencapai 536 triliun rupiah, itu dari global bond saja. Lalu bagaimana utang Pertamina sekarang yang nilainya sudah hampir 600 triliun rupiah.
Pengamat Ekonomi AEPI Salamuddin Daeng

JAKARTA-Pemerintah mengatur harga Bahan Bakar Minyak (BBM), gas dan listrik dalam Paket Kebijakan Ekonomi III yang telah dirilis pada Rabu (7/10). Dalam paket kebijakan ini, pemerintah mengumumkan penurunan harga BBM, gas serta tarif listrik untuk industri.

Namun pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai penurunan harga BBM yang secuil tidak membantu industri dan Usaha Kecil Menengah (UKM) untuk bangkit dari kebangkrutan. “Satu-satunya paket kebijakan yang paling kongkrit yakni penurunan harga BBM. Sayangnya, kebijakan ini tanggung dan tidak significant,” jelas Daeng di Jakarta, Kamis (8/10).

Seperti diketahui, pemerinah menurunkan harga solar sebesar Rp 200 dari Rp 6.900/liter menjadi Rp 6.700/liter yang baru akan berlaku pada Sabtu (10/10) mendatang. Demikian juga harga avtur. Untuk avtur  internasional turun 5,33% atau kira-kira 10 sen per dollar AS, namun untuk domestik turun 15%.  Sementara untuk harga elpiji (LPG) 12 kilogram, turun 4,72%, dari Rp 141.000/tabung menjadi Rp 134.300, dan berlaku sejak 16 September lalu. Kemudian Pertamax turun 2,7%, dari Rp 9.250 menjadi Rp 9.000, berlaku sejak 1 Oktober. Pertalite walaupun masih harga diskon, tetapi Pertamina memberi turun harga Rp 100 atau 1,2%, dari Rp 8.400 menjadi Rp 8.300.

Menurut Daeng, penurunan harga BBM ini tidak akan menolong ekonomi yang tengah sekarat. Penurunan harga BBM yang secuil tidak membantu industri dan usaha kecil menengah untuk bnagkit dari kebangkrutan. “Demikian juga inflasi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang jatuh membuat investasi tidak ada harapan,” jelasnya.

Sementara itu, terkait dengan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah, Daeng mengatakan Bank Indonesia (BI) telah mengorbankan devisa cukup besar untuk intervensi. Hal ini menyebakan cadangan devisa September 2015 berkurang ke posisi US$101,7 miliar atau melorot sebesar USD3,6 miliar dibandingkan dengan posisi cadangan devisa akhir Agustus 2015 sebesar US$105,3 miliar. Namun pengorbanan BI ini tidak mampu mengangkat rupiah. Terbukti, hari ini rupiah kembali melemah 66 poin atau 0,48 persen ke level Rp 13.887 dari posisi penutupan perdagangan kemarin Rp 13.821 per USD. “Ditambah dengan suku bunga tertinggi di ASEAN membuat industri tidak kompetitif kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya,” jelasnya.

Karena itu, jika penurunan harga energi tanggung begini dan bunga tidak turun separuh, tampaknya ekonomi tidak akan meroket. “Bisa-bisa rupiah yang membumbung tinggi, bisa juga  terbanting lagi hingga “patah tulang”,” pungkasnya.

Sebelumnya, BI mengatakan melorotnya cadangan devisa dipicu oleh penggunaan cadangan devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Curah Hujan Tinggi, Pemerintah Perlu Perkuat Keselamatan Transportasi Publik

JAKARTA-Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti rusaknya sejumlah fasilitas atau
OJK

Kredit Perbankan Tumbuh 9,58% yoy

JAKARTA-Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan tercatat tumbuh positif di bulan