Setelah mengetahui bahwa gurunya, Chang Cong, sakit keras, Lao Tzu mengunjunginya. Terlihat jelas bahwa Chang Cong mendekati akhir hidupnya. “Guru, apakah Guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?” kata Lao Tzu kepadanya.
“Sekalipun kamu tidak bertanya, aku pasti akan mengatakan sesuatu kepadamu”, jawab Chang Cong. “Apa itu?” “Kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahirmu”. “Ya, Guru. Ini berarti orang tidak boleh melupakan asalnya” (Michael C. Tang, 2006, h. xi).
Cerita bijak di atas adalah salah satu bagian dari kampanye Revolusi Kebudayaan China. Masyarakat China ingin agar semua pendidikan dan praktek hidup bermasyarakat yang cenderung bersifat borjuis dipangkas sampai ke akar-akarnya.
Kaum muda dan masyarakat seumumnya dididik ulang: kembali ke alam kebijaksanaan orang desa dengan hukum adat mereka: bekerja keras dan tidak mengagungkan hasil akhir semata-mata tetapi senantiasa menghargai proses.
Hasil yang baik harus lahir dari proses yang baik pula. Atau seperti kata pepatah dalam Bahasa Latin: “finis non iustificat medium” – tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Untuk mewujudkan gagasan besar Revolusi Kebudayaan China itu, maka semua siswa tamatan SMA sebelum melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, atau sebelum memasuki dunia kerja, diwajibkan pergi dan tinggal di desa untuk bekerja sebagai petani.
Maka tidak selamanya hukum yang berasal dari masyarakat sederhana di desa itu sebagai hukum yang usang (out of date). Tetapi sebaliknya hukum adat tetap menjadi hukum yang kontekstual, hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Hukum Negara Tak Pernah Lengkap
Mengapa hukum adat itu perlu diterapkan dalam kasus konkret di pengadilan? Apakah ada jaminan dalam hukum positif kita untuk diterapkannya prinsip-prinsip dan dasar-dasar hukum adat dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan?
