Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Tuesday 28 Jul 2020, 5 : 29 pm
by
kuasa hukum ahli waris menolak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai eksekutor atas putusan Pengadilan.
Praktisi Hukum Edi Danggur, S.H., M.M., M.H

Prinsip hakim bersifat menunggu itu berarti hakim eksis dan baru bisa bertindak, dalam pengertian memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara kalau ada gugatan yang diajukan ke pengadilan. Ini sesuai dengan adagium dalam Bahasa Latin: “nemo judex sine actore” – tidak ada hakim jika tidak ada gugatan.

Prinsip ini hendak menunjukkan bahwa inisiatif untuk mengajukan gugatan semata-mata ada pada pihak yang berkepentingan (Vide Pasal 118 HIR).

Prinsip hakim bersifat menunggu ini mempunyai konsekuensi seperti tertuang dalam adagium ini: iudex ne procedat ex officio – yang berarti bahwa hakim tidak bisa memproses (memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara) karena dan demi jabatannya itu.

Tidak serta-merta karena ia seorang hakim maka ia boleh memproses sebuah perkara.

Akan tetapi begitu ada pihak-pihak yang membawa suatu perkara ke hadapan hakim, maka tidak boleh menolak memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut.

Tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak memproses perkara tersebut, sekalipun alasannya hukumnya tidak atau belum ada, hukumnya tidak atau belum jelas.

Sebab ada adagium: “ius curia novit” – hakim dianggap tahu hukum.

Sebagai adagium selalu bersifat anggapan secara umum bahwa hakim tahu hukum. Sebab dalam kenyataannya tidak semua hakim pasti tahu semua hukum yang ada.

Apalagi hukum itu tersebar dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, juklak dan juknis, yang jumlahnya begitu banyak dan menyebar ke berbagai buku.

Anggapan hakim tahu hukum itu meliputi juga pengetahuan tentang pendapat para ahli (doktrin) yang tersebar di berbagai literatur, yurisprudensi, traktat internasional, bahkan hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut.

Sekalipun misalnya hakim tersebut saat kuliah atau saat mengikuti pendidikan khusus untuk para hakim tidak pernah mempelajari hukum adat Manggarai di bidang pertanahan.

Ada beberapa dasar pembenar bagi hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu sengketa pertanahan menurut hukum adat setempat:

Pertama, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) menegaskan: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Kata hukum dalam ayat ini tidak sekedar undang-undang tetapi meliputi hukum adat juga.

Kedua, Pasal 25 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan: Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Ketiga, Pasal 28 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, menegaskan: Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nikai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang dimaksudkan di sini tidak lain adalah hukum adat setempat.

Hukum Adat Belum Digunakan Secara Optimal
Sejauh pengamatan penulis, hukum adat belum dipakai secara optimal dalam praktek peradilan di Manggarai.

Indikasinya banyak sengketa pertanahan di Manggarai yang hanya berakhir dengan putusan: gugatan tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard).

Itu artinya hakim belum menilai pokok perkara tentang siapa pemilik sebenarnya tanah sengketa itu, sehingga tidak sampai pada putusan mengabulkan atau menolak gugatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Megalomania Ahok Nyaris Tanpa Prestasi ‎‎

Oleh: Salamuddin Daeng Pemerintah DKI Jakarta hasil kloning Jokowi yakni

Maryono Raih The Best CEO 2018

JAKARTA-Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., Maryono meraih