Perlu Standar Pengukuran Level Minimum Likuiditas Bank

Thursday 2 Oct 2014, 4 : 22 pm
by
Ilustrasi

JAKARTA-Krisis keuangan global tahun 2008 lalu memberikan pelajaran berharga bagi industri perbankan nasional, di mana permodalan yang kuat saja ternyata tidak membuat bank mampu bertahan dalam menghadapi krisis.

Pengalaman dalam krisis tersebut menunjukkan bahwa meskipun permodalan bank memadai, namun apabila tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk menghadapi shock maka bank dapat menjadi bermasalah.

“Oleh karena itu, sebagaimana halnya permodalan, diperlukan suatu standar pengukuran level minimum likuiditas tertentu yang harus dipelihara oleh bank dalam antisipasi untuk menghadapi krisis, yang berlaku secara internasional,” ujar Humas Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Doddy Ardiansyah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (2/10).

Pada Januari 2013, katanya dokumen final mengenai kerangka perhitungan Liquidity Coverage Ratio (LCR) yang merupakan salah satu standar perhitungan risiko likuiditas bank sebagai bagian dari kerangka Basel III telah dipublikasikan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).

Kerangka perhitungan LCR bertujuan untuk mendorong ketahanan jangka pendek berdasarkan profil risiko likuiditas bank dengan memastikan bahwa bank memiliki kecukupan HQLA (High Quality Liquid Asset) untuk dapat bertahan dalam skenario kondisi krisis yang signifikan dalam periode 30 hari kalender.

Menurutnya, Indonesia sebagai anggota BCBS memiliki komitmen untuk mengadopsi kerangka Basel III termasuk kerangka LCR dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap perbankan nasional.

Oleh karena itu penerapan LCR di Indonesia akan dilakukan secara berhati-hati, dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kondisi nasional.

Consultative Paper ini diterbitkan dengan tujuan untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak mengenai kerangka LCR yang telah dipublikasikan oleh BCBS sebelum regulasi terhadap kerangka tersebut dikeluarkan.

Beberapa masukan yang diharapkan antara lain lingkup implementasi, tahapan implementasi, laporan pengungkapan kepada publik, penerapan LCR sesuai jenis mata uang yang signifikan, aset yang dapat masuk dalam klasifikasi HQLA, simpanan stabil dan kurang stabil, usulan run off rate untuk kewajiban pendanaan kontinjensi lainnya seperti: instrumen trade finance; guarantees and letters of credit unrelated to trade finance obligations; kewajiban-kewajiban non-contractual lainnya; penerbit surat utang yang terafiliasi dengan dealer atau market maker.

Bank diminta untuk memberikan masukan berapa run off rate yang sesuai berdasarkan data historis yang dimiliki dan perlakuan atas intra-group transaction.

“Sebagai bagian dari pengaturan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usaha perbankan, OJK memandang bahwa perlu melakukan langkah-langkah untuk menyiapkan implementasi kerangka LC dengan baik agar sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dan berkontribusi positif dalam perkembangan industri perbankan Indonesia ke depan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Bicara Pemilu 2024, Hasto PDIP: Kekuasaan Diperoleh dari Kepercayaan Rakyat

JAKARTA-Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan, bahwa
IPO

Melantai Perdana di BEI, MAHA Melesat ke Titik Auto-rejection Atas

JAKARTA-Saat memulai transaksi perdana pada perdagangan hari ini di Bursa