JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh soal pemilu yang harus berlangsung secara jujur dan adil sebagaimana amanat konstitusi itu sendiri. “Penyelenggaraan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh tidak sempurna, tapi jangan menghalalkan segala cara,” kata Saksi Ahli Prabowo-Hatta, Margarito Kamis, dalam dialog kenegaraan ‘Menanti putusan MK-sengketa Pilpres 9 Juli 2014’ bersama Margarito Kamis (saksi ahli Prabowo-Hatta), Brigjen TNI (purn) Safroedin Bahar (mantan Komnas HAM 1995-2007), Zainal Arifin Mochtar (saksi ahli KPU-UGM) dan anggota DPD RI I Wayan Sudirta di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (20/8/2014).
Sebab, kata Margarito, pemilu yang Jurdil itu sebagai ruh dan jiwa dari prinsip berdemokrasi dalam memilih pemimpin, agar tidak menghalalkan segala cara hanya untuk menang. “KPU itu harus independen agar pemilu ini beres. Tapi, kita serahkan pada MK untuk mengambil keputusan besok,” ujarnya
Menurut Margarito, tidak ada cara lain untuk mengoreksi kinerja KPU selain menggugat ke MK. Apalagi pemilu yang Jurdil itu berat. “Jadi, persoalannya bukan menang-kalah, tapi cara untuk menang itu harus dikritisi. Kenapa dalam konstitusi Pasal 22 E UUD 1945 itu ada Jurdil, karena selama pemerintahan Orba itu berlangsung secara curang, bobrok, dan menghalalkan segala cara,” tambahnya
Karena itu kata Margarito, disitulah kunci MK untuk mengambil keputusan. Lalu, bagaimana soal daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), untuk memastikan warga negara agar menggunakan hak pilihnya itu betul, tapi dalam UU Pilpres pasal 28 dan 111, sejauh pemilih itu tidak tertampung dalam DPT, maka diperbolehkan dengan syarat dan cara tertentu. “Jadi, DPKTb itu bukan dengan sesuka-sukanya. Kalau itu dibiarkan, itu namanya cara-cara buruk. Memang kita ini mau menjadi bangsa bermartabat atau bukan. Karena itu, pilpres yang konstitusional itu tidak ada hubungannya dengan angka-angka, dan TSM itu bukan ujuk-ujuk,” pungkasnya kecewa. (ek)