PISPI: Kesimpangsiuran Data Beras Picu Kegaduhan Antar Lembaga

Sunday 30 Sep 2018, 8 : 16 pm
ilustrasi

JAKARTA-Polemik impor beras dipicu karena tidak validnya data-data kebutuhan beras nasional. Baik, Kemendag, Kementan dan Perum Bulog. Sehingga menimbulkan dugaan adanya kartel dan mafia pangan yang ikut bermain.

“Harus diakui stok beras pemerintah terbatas dan tidak lebih besar dari cadangan yang dimiliki swasta,” kata Ketua Bidang Kajian Strategis dan Advokasi BPP Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Pipink A. Bisma dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu, (30/9/2018).

Padahal, kata Pipink, Bulog memiliki kapasitas pergudangan baik dipusat maupun didaerah dengan total mencapai 3,7 juta ton beras. Oleh karena itu sisa kuota beras impor sebaiknya tidak tergesa-gesa dimasukan ke dalam negeri.

Pipink mendesak pemerintah harus menetapkan stok yang dimiliki swasta menjadi cadangan pangan nasional, yang sewaktu-waktu jika diperlukan dapat digunakan.

Disisi lain, lanjut Pipink, keberadaan Badan Pangan Nasional (BPN) yang hingga kini belum terbentuk membuat persoalan pangan belum bisa terselesaikan secara integratif. Padahal dalam UU Pangan sudah 6 tahun lalu direkomendasikan.

Sejatinya, kata Pipink, Badan Pangan Nasional memiliki wewenang strategis dan taktis serta diyakini akan menjawab persoalan-persoalan pangan. Dalam UU Pangan, Pasal 151 UU Pangan, BPN harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan yakni 2015.

“Patut diduga keengganan kelembagaan pangan dibentuk oleh pemerintah dan tidak mendapat dukungan yang kuat karena dapat mengurangi wewenang kementerian/lembaga yang mengurus pangan. Padahal draft pembentukan lembaga ini sudah disiapkan sejak lama,” tuturnya.

Sementara itu Wasekjen Kajian Strategis dan Advokasi BPP PISPI Suroyo mengungkapkan selain masalah BPN, pemerintah harus mengonsolidasikan sumber data utama yang valid. Dalam hal ini terutama BPS yang harus di depan. Sehingga kedepan antar kementerian dan lembaga tidak saling klaim kebenaran data yang dimiliki.

“Fokus dahulu benahi sumber data,terutama data hulu dari masalah perberasan, yaitu lahan,” terangnya.

Yang lebih penting lagi, kata Suroyo, jumlah existing real lahan sawah dan tadah hujan di Indonesia. Karena ini harus dapat dibuktikan dengan pendekatan Geospasial. “PISPI menilai masih banyak potensi pengembangan lahan-lahan pertanian di luar Jawa,”ucapnya.

Karena itu, kata Suroyo, baik Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi dan petani penangkar benih harus lebih banyak lagi menciptakan benih padi varietas-varietas spesifik lokasi yang unggul. “Dengan itu diharapkan pasokan beras domestik akan mampu memenuhi kebutuhan nasional,”tegasnya.

Data yang diperoleh PISPI dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) harga beras medium II di Jakarta pada 24 September 2018 tercatat Rp. 13.650/kg. “Angka itu jelas lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017. Beleid itu menyebut, HET beras medium dipatok mulai Rp 9.450 per kg hingga Rp 10.250 per kg,” cetusnya.

Suroyo menjelaskan hal ini terjadi karena ketentuan-ketentuan dalam Permendag tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dilapangan. Permendag harus segera direvisi dengan catatan penyesuaian terhadap kriteria beras medium dan premium”.

Ditempat yang sama, Ketua Departemen Data dan Informasi BPP PISPI Angga Hermanda menyampaikan sedikit besar penurunan harga juga dipengaruhi oleh faktor kekeringan yang melanda sentra-sentra produksi padi. Apalagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sempat merilis terdapat 4.053 desa dari 888 kecamatan di 111 kabupaten/kota seluruh Indonesia yang dilanda kekeriangan.

“Dari luasan kekeringan tersebut sebanyak 4,87 juta jiwa menjadi korban,” ujarnya.

Menurut Angga, sebagian besar korban kekeringan itu adalah petani yang berada di perdesaan. Kementerian Pertanian telah mencatat selama Januari-Juli 2018 kekeringan melanda 115.371 hektar persawahan padi di Indonesia dan seluas 23.895 hektar di antaranya mengalami gagal panen atau puso.

“Setali tiga uang angka kemiskinan di perdesaan juga masih lebih tinggi dibanding perkotaan pada periode September 2017 – Maret 2018,”jelasnya.

Sebagai wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja disektor pertanian, di daerah perdesaan terdapat 15,81 juta penduduk miskin. Sementara di daerah perkotaan sebanyak 10,14 juta orang. ****

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Fahri Dukung Pansus Tercecernya e-KTP

JAKARTA-Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyambut baik rencana DPR

IHSG Jatuh 0,97% di Bawah Level 7.200

JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia