Politik Transaksional Dorong “Perampokan” APBD

Friday 17 May 2013, 4 : 53 pm

JAKARTA-Praktek politik yang berbiaya mahal dan korup hanya menghasilkan pemimpin yang keberadannya, seperti kepala sebuah gerombolan. “Bukan seorang pemimpin atau negarawan yang dihasilkan. Tetapi seperti ketua kelompok atau gank. Karena seringkali ketika kemenangan diperoleh. Maka muncul pola korupsi baru yang dilakukan kelompok elit baru hasil pilkada atas APBD yang dibuatnya,” kata  Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta,  Ubedillah Badru dalam talk show ‘Daerah setelah 15 tahun Reformasi’  bersama anggota DPD RI Marhany Victor Poly, dan Politisi Hanura, Fuad Bawazier di Jakarta, Jumat (17/5)..

Menurut Ubedillah, faktanya ada keterkaitan masyarakat dengan kekuasaan sepanjang 15 tahun reformasi yang diwarnai perilaku korup, baik dari sisi masyarakat maupun elit politiknya. “Dalam sejumlah kasus pemilukada sepanjang 2012, hampir seluruhnya melakukan politik transaksional dengan masyarakat. Yang terjadi bukan politik relasional yang menumbuhkan relasai yang sehat dalam membangun demokrasi,” tambahnya.

 Selain itu, kata Ubed lagi, parpol sangat berkuasa dan wewenangnya sangat besar. Karena itu, sistem dan tata kelola politik tersebut harus dievaluasi. Namun, bukan berarti akan kembali ke masa Orde Baru, karena hal itu hanya sebagai keinginan semu dan mustahil. “Yang terjadi malah suburnya korupsi, oligarki dan dinasti politik, biaya politik yang sangat mahal, dan wewenang parpol yang sangat besar, sehingga semuanya serba transaksional,” tandasnya.

 Sementara itu Fuad Bawazier menyoroti pasca reformasi telah terjadi  empat kali amandemen UUD 1945. Namun hasilnya  justru makin memberikan kewenangan besar pada parpol. “Sehingga elit parpo ini menjadi warga kelas satu, sedangkan warga di luar parpol sebagai warga kelas dua,” paparnya

Fuad menyontohkan dampak negative reformasi, juga menyuburkan oligarki dan dinasti politik, malah ada parpol yang dipimpin oleh satu keluarga. Dengan demikian siapa saja yang mau menjadi pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya harus melalui parpol. Untuk itu wajar jika APBN habis untuk biaya politik; dari pemilu, pilpres, dan pilkada,” ujarnya kecewa.

 Sedangkan anggota DPD, Marhany mengaku jalannya reformasi selama ini tanpa dibarengi dengan strategi besar untuk membangun demokrasi itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah euforia reformasi, yang melahirkan oligarki, dinasti, dan suburnya KKN yang juga sampai ke daerah. “Bahkan APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, malah habis untuk biaya politik daerah,” terangnya.

Apalagi tak ada transparansi anggaran, sambung Marhany lagi, maka banyak uang negara yang menguap tidak jelas, dan rakyat tetap miskin. “Bahkan infrastruktur ekonomi makin buruk,” ungkap anggota DPD RI asal Sulawesi Utara ini. **can

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PT Tuban Petrochmical

Konversikan Piutang Rp2,9 Triliun, Pemerintah Kuasai PT Tuban Petrochmical

JAKARTA-Pemerintah Indonesia melakukan penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke

TPDI: Azis Syamsuddin Mastermind Jaringan Markus di KPK

JAKARTA-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mensinyalir peran