PPP dan PAN Tolak Kenaikkan Parliamentary Threshold

Tuesday 7 Jul 2020, 4 : 44 pm
by
Ilustrasi

JAKARTA-PPP dan PAN menolak kenaikkan ambang batas parlemen (parliamentary thrashold).

Alasannya setiap daerah memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri dan memiliki keberagaman.

Menaikkan parlemen threshold (PT) dalam setiap revisi pemilu seolah menjadi tradisi politik dan itu tak lepas dari kepentingan partai politik besar.

Sehingga menaikkan PT dipastikan akan menguntungkan partai besar. Padahal, idealnya nol persen agar tidak membuang-buang suara rakyat.

“Di pemilu 2019 saja suara rakyat yang terbuang 13 jutaan suara. Jumlah suara itu terbuang, dan sama sekali tak ada perwakilannya di parlemen. Padahal, negara ini menganut keberagaman dan kebhinnekaan,” tegas Wakil Ketua Komisi III DPR RI Arwani Thomafi.

Hal itu disampaikan dalam acara forum legislasi ‘Ke Mana Arah RUU Pemilu?” bersama anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus, anggota Komisi II DPR Fraksi PKB Yanuar Prihatin, dan pengajar Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Heri Budianto, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Karena itu lanjut Waketum PPP itu, revisi UU pemilu No. 7 tahun 2017 itu tak perlu menaikkan PT parlemen.

Dimana demokrasi Indonesia ini memiliki kekhasan tersendiri, karena bangsa ini terdiri dari banyak suku, adat, ras, agama, dan golongan.

“Jangan sampai jutaan suara rakyat tak bisa dikonversi menjadi kursi di DPR RI,” ujarnya.

Sedangkan untuk presidential threshold, PPP kata Arwani mendukung di angka 5 persen, 10 persen hingga 15 persen.

Sebab, belajar dari pengamalan pilpres 2019 masyarakat terbelah menjadi dua dan partisipasi masyarakat diarahkan pada ruang yang sempit pada dua capres.

“Jadi, PPP mendukung president threshold itu 5 persen hingga 15 persen agar ada lebih dari dua pasangan capres,” ungkapnya.

Sementara itu untuk efektifitas di parlemen, anggota DPR RI yang berasal dari partai yang kecil, bisa diatur melalui koalisi fraksi-fraksi di DPR.

“Artinya anggota DPR itu nantinya bisa berkoalisi atau bergabung dengan partai yang dianggap cocok di parlemen,” pungkasnya.

Guspardi Gaus juga sependapat kalau parlemen threshold tersebut tidak dinaikkan, namun kalaupun ada PT-nya tetap 4 persen.

Sedangkan untuk presidential threshold, PAN mendukung 5 persen hingga 10 persen, agar ada capres lebih dari dua pasangan. Dengan 4 persen saja 13 juta suara hilang sia-sia.

“Harapannya RUU pemilu ini membawa sesuatu yang positif bahwa hak-hak demokrasi itu benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat, sehingga bisa memilih calon pemimpin yang berkualitas dan pemilu berlangsung secara jujur, adil, umum, rahasia dan demokratis. Membuat UU itu harus memahami filosofi NKRI yang beragam, majemuk, bhinneka dan tetap bersatu dalam kearifan lokal masing-masing,” katanya.

Sementara itu Yanuar Prihatin mengakui kalau sistem pemilu ini masih banyak yang paradoks; antara input dan output-nya.

“Untuk itu, RUU Pemilu ini harus didesign sesistemtis mungkin agar menghasilkan DPR, kepala daerah, dan presiden yang kuat, memiliki kapasitas yang memadai, dan berkualitas melalui UU Parpol dan Indeks Kepemimpinan Nasional,” katanya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Masyarakat Kawanua Katolik Harus Ingat Semangat ‘Si Tou Timou Tumou Tou’

JAKARTA-Masyarakat Kawanua hendaknya memegang semangat dan nilai luhur dalam mengembangkan

Menperin: Saatnya Menerapkan Green Economy

JAKARTA-Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan sudah saatnya bagi semua