Dia yakin, melihat langsung persoalan di lapangan sangat penting agar lebih sempurna menyusun regulasi di sektor pertambangan.
Said mengaku kebijakan pelarangan ekspor nikel merupakan langkah visioner untuk membangun industri pertambangan nasional agar meninggalkan pola pembangunan ekstraktif (hanya gali) menuju pembangunan berbasis nilai tambah dengan cara membangun pabrik pembangun smelter.
Hanya saja, ujarnya mayoritas pabrik nikel yang sudah beroperasi ini hampir 80 persen adalah korporasi nikel dari Cina yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membangun pabrik smelter nikel. Sementara perusahaan domestik yang baru membangun pabrik nikel masih sedikit lantaran ketidaksanggupan finansial.
“Kebanyakan pabrik-pabrik nikel ini berasal Tiongkok,” terangnya.
Hal ini membuat perusahaan China ini kerap melakukan monopoli bisnis. “Jumlah mereka sangat sedikit tetapi mereka memiliki dana besar bangun smelter, mereka tidak memiliki lahan konsensi nikel yang luas dan bahkan ada perusahaan yang tidak memiliki konsensi (hulu),” ulasnya.
“Mereka hanya mengharapkan biji nikel dari konsensi tambang kecil-kecil miliki pengusaha kecil Indonesia yang tidak memiliki cukup dana untuk membangun smelter,” tuturnya.
Lantaran terdesak kebijakan pelarangan ekspor, konsensi kecil-kecil itu harus menjual biji nikel ke pabrik-pabrik smelter. Sementara pabrik smelter melakukan kartel untuk menurunkan harga pasar.