Said Abdullah: Ekonomi di Ambang Resesi, Revisi UU BI Tidak Pas

Monday 7 Sep 2020, 7 : 49 pm
by
Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah

Padahal pokok masalahnya terkait OJK terang Said tidak ada lembaga pengawas yang kuat, layaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki Dewas KPK yang kuat.

Hal ini penting mengingat OJK memiliki kewenangan yang luar biasa, akan tetapi anggaran OJK didapatkan dari pungutan terhadap industri keuangan secara langsung oleh OJK.

Hal ini memberi celah konflik kepentingan.

“Jadi, sesungguhnya bukan hanya UU No 23 tahun 1999 yang perlu di revisi, akan tetapi juga UU No 21 tahun 2011 tentang OJK. Pada sisi UU No 21 tahun 2011 ini perlu menambahkan pengaturan tentang Badan Pengawas OJK. Saya kira yang harus kita pikirkan untuk disempurnakan,” tuturnya.

Lebih lanjut Said mengatakan keterlibatan BI dalam pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah harus dimasukan dalam draf revisi UU BI pada perubahan ayat 1 sampai 3 pasal 56 .

Karena itu, revisi UU BI ini harus memuat praktik skema burden sharing yang telah dilaksanakan oleh BI dan pemerintah.

“Saya kira, poin ini sangat penting untuk ditambahkan dalam revisi UU BI,” tegasnya.

Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini juga mendukung pasal 58A yang merupakan pasal tambahan yang dituangkan dalam Undang Undang 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU No 23 tahun 1999 menambahkan Badan Supervisi BI (BSBI).

“Saya lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI bukan sekedar alat bantu DPR. Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas lembaga tinggi negara lainnya. Kita perlu mencotoh kewenangan Dewan Pengawas KPK,” ujarnya.

Said juga berharap agar revisi UU BI ini memikirkan agar BI berperan bisa lebih dalam pada sektor riil, khususnya UMKM.

Sebab UMKM ini adalah wajah dari ekonomi nasional.

Bahkan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60 persen.

“Terlalu besar kalau hanya semata di urus oleh pemerintah melalui sisi fiskal,” jelasnya.

Memang diakuinya, BI memiliki instrumen untuk ikut mengatur pada sektor keuangan, yakni melalui kebijakan suku bunga acuan, intervensi ke pasar spot, penetapan Giro Wajib Minuman (GWM), dll.

Namun seluruh kewenangan yang dimiliki BI itu dipergunakan untuk kepentingan dua hal, yakni stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi.

“Saya terpikir memasukkan satu hal lagi sebagai dasar acuan BI menggunakan kewenangannya, yakni penguatan sektor riil, khususnya UMKM,” imbuhnya.

Lebih jauh, Said mengatakan kebutuhan hukum terkait sektor keungan ini adalah peran proaktif dan antisipasif dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), khususnya peran early intervention, termasuk dengan penempatan dana.

Sebab bila mengacu pada UU No 4 tahun 2004 tentang LPS lebih banyak sebagai pemadam kebakaran dari bank gagal.

“Mengingat banyaknya kebutuhan perubahan beberapa undang undang ini, maka pola yang pas adalah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu menyangkut revisi ketiga undang undang tersebut. Dengan begitu prosesnya lebih cepat dan segera bisa menjadi kebutuhan hukum untuk mengantisipasi berbagai kejadian kedepan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kisah Inspiratif Kayla, Gadis Cilik Tuna Netra Penghafal Al Quran 30 Juz

TANGERANG-Mengalami gangguan pada penglihatan sejak lahir (tuna netra) bukanlah halangan

Menkeu: THR dan Gaji ke-13 Lengkapi Strategi Stimulasi Ekonomi Nasional

JAKARTA-Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2022