Semestinya ujar Said, para menteri betul-betul memahami agenda Nawacita sebagai visi dan misi presiden.
Artinya, setiap peningkatan anggaran tidak serta merta menaikkan biaya rutin (operasional kantor) tapi justru anggaran pembangunan untuk masyarakatlah yang diutamakan.
“Mencermati alokasi anggaran yang sangat besar pada keperluan belanja rutin khususnya untuk operasional kant0r maka kami meminta indicator kinerja yang terukur oleh setiap Kementrian dalam urusan pelayanan public,” jelas anggota Komisi XI DPR ini.
Dia melihat, belanja pembangunan non fisik seperti kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, juga mendapatkan porsi yang besar dalam APBN.
Berdasarkan data, dari total anggaran sebesar Rp 57,12 Triliun di Kementerian Agama (Kemenag), porsi terbesarnya justru dipakai untuk belanja rutin sebesar Rp 33,4 Triliun (58,47%). Sedangkan anggaran untuk pembangunan sebesar Rp 23,7 Triliun (41,53%).
“Alokasi anggaran pembangunan non fisik sebesar Rp 22 Triliun (38,53%) dan pembangunan fisik hanya sebesar Rp 1,7 Triliun (2,99%),” terangnya.
Demikian juga di Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, alokasi anggaran dalam APBN sebesar Rp 8,6 Triliun.
Dari angka ini, sebesar Rp 1,2 Triliun (13,45%) dipergunakan untuk belanja rutin.
Sementara untuk pembangunan anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 7,4 Triliun (86,55%).
“Pembangunan non fisik mencapai Rp 6,3 Triliun (73,49%) dan anggaran pembangunan fisik mencapai Rp 1,1 Triliun (13,07%).
Namun agar pemanfaatan anggaran efektif maka FPDI Perjuangan meminta agar setiap kegiatan pembangunan non fisik harus disertai pendamping.
Syaratnya, pendamping harus berkualitas sehingga dapat mengarahkan kegiatan menjadi tepat sasaran, tepat manfaat dan berdampak kemajuan.
“Kegiatan pembangunan non fisik yang pada umumnya menjadikan masyarakat sebagai sasaran kegiatannya perlu disertai dengan target dampak kemajuan yang akan dicapai melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan,” terangnya.