Implikasinya pemerintah daerah harus melakukan perubahan berkali-kali hingga APBD ditetapkan pada Desember atau mundur hingga bulan Januari/Februari tahun berkenaan.
Isu lain juga berkaitan dengan formula DAU dan DAK yang cenderung menguntungkan daerah dengan penduduk banyak ketimbang penduduk yang sedikit.
“Termasuk pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) yang kurang proporsional antara daerah penghasil dan non penghasil,” imbuhya.
Said mengaku, upaya mengurangi gap antara pemerintah pusat (APBN) dan daerah (APBD) dalam perpektif keuangan negara memang sangat lemah.
Hal ini hanya diikat oleh deficit fiscal sebesar 3 % PDB dimana pemerintah pusat sebesar 2,5 % PDB, sementara pemerintah daerah sebesar 0,5 % PDB.
Namun upaya singkronisasi dilakukan melalui dokumen perencanaan, baik antara RPJMN dan RPJMD maupun RKP dan RKPD.
Akan tetapi, lagi-lagi tantangannya adalah visi misi Presiden dan Kepala Daerah belum tentu sejalan meskipun RPJMD harus mempedomani RPJMN, begitu pula RKPD terhadap RKP.
Apalagi periodesasi antara Presiden dan Kepala Daerah yang beragam.
Hal ini ditambah dengan kiblat politik beberapa Kepala Daerah yang mungkin saja berbeda dengan Gubernur Presiden.
Lebih lanjut, Said mengatakan manajemen hubungan pusat dan daerah dalam perspektif pemerintahan dan penganggaran pada dasarnya telah diatur dengan beragam regulasi terkait.
Namun demikian, upaya-upaya perbaikan regulasi tetap dibutuhkan sebagai bentuk perbaikan kondisi bangsa dan negara, termasuk daerah.
“Tidak harus juga bersifat kaku. Karena itu, perlu mencari sela-sela kreativitas dan inovasi pembangunan maupun tata caranya dalam kewenangan dan keuangan adalah kunci untuk berprestasi. Sudah banyak pemimpin daerah yang telah melakukan hal tersebut. Semua ini menjadi tantangan bagi calon-calon pemimpin bangsa ke depan,” pungkas Wakil Pimpinan Banggar DPR ini.