Sektor Tambang Hanya Beri Rp306 Triliun Untuk Daerah

Wednesday 15 May 2013, 5 : 39 pm
daridulu.com/meiky anjasmara

Jakarta-Minimnya penerimaan negara dari sektor tambang yang hanya Rp12 Triliun/tahun tentu mencurigakan. Ada dugaan pengurasan sumber daya alam. Masalahnya, dalam kajian potensi penerimaan negara dari sektor minerba sekitar Rp 935 triliun/tahun. Namun yang disalurkan ke seluruh daerah hanya sekitar Rp306 triliun. “Ini artinya, sama saja telah terjadi perampokan sumber daya alam. Tentu semua ini karena lemahnya sistem Undang-Undang Minerba,” kata  Ketua Komisi II DPD RI, Bambang Susilo dalam diskusi ” Pengelolaan Minerba Untuk Kesejahteraan Rakyat,” bersama anggota Komisi VII DPR, Syafruddin MT dan Suparji, pakar hukum tatanegara Universitas Al Azhar di Jakarta, Rabu,(15/5).

Menurut Bambang, para Investor tambang saat ini dinilai merasa nyaman dengan UU Minerba. Karena regulasi tersebut bukan berpihak pada negara.  “Investor itukan enak saja, habis menambang, lalu meninggalkan tempat, tak tahu bagaimana dampak terhadap kerusakan lingkungan,” tambahnya.

Lihat saja di Kalimantan, kata Bambang lagi, dari 18 Daerah Penghasil Minerba/Batubara (DPM), semuanya mengalami krisis listrik, termasuk Kalimantan Timur.

Yang jelas, lanjut Bambang, UU UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba ini tidak memiliki dampak positif terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Malah banyak daerah yang masih mengandalkan pada perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Sementara Suparji juga mengakui UU Minerba ini sangat memanjakan asing. Malah dalam UU Minerba sendiri, khususnya pasal 93 ayat (1,2, dan 3) terjadi saling bertentangan satu sama lain. “Kontruksi UU itu sebagai antitesis dari kontrak-kontrak karya seperti masa lalu. Maka ke depan harus ada bisa melakukan renegosiasi dengan sejumlah perusahaan tambang yang membandel,” ungkapnya.  

Menurut Suparji, baik pemerintah, DPR, dan  DPD harus berani membuat UU yang pro rakyat. Termasuk berani mengubah kontrak-kontrak karya pertambangan yang selama memanjakan asing tersebut. Namun demikian semua langkah itu  tetap harus berdasarkan konstitusi.

Menyinggun soal langkah keras seperti nasionalisasi perusahaan asing, Suparji menegaskan bisa saja hal itu dilakukan. Namun baik pemerintah dan mendapat dukungan DPR.  Tidak hanya itu, agar langkah nasionalisasi bisa tidak melanggar hukum, maka perlu juga  dibuat UU tentang Nasionalisasi. “Hanya saja, nasionalisasi itu juga perlu didukung kesiapan dana, harus ada kompensasi dengan harga yang sesuai pasar,” terangnya.

Kalau ternyata harganya tidak cocok, Suparji menjelaskan, investor bisa menggugat lewat jalur arbitrase. “Disinilah kemampuan melakukan perundingan dan negosiasi diuji,” tegasnya.

Soal nasionalisasi ini, lanjut Dosen Universitas Al Azhar ini, tinggal masalah keberanian pemimpin, terutama dalam mengambil dampak dari resikonya. “Tentu nasionalisasi ini ada resiko, kita akan dikucilkan dari pergaulan dunia, embargo dan lainnya,” paparnya. **can

 

 

 

Don't Miss

Anggaran Belum Cair, Karwo Salahkan KPU

SURABAYA- Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, untuk menggelar gebyar
Jasmerah merupakan pesan yang masih sangat relevan sampai saat ini. Karena para elit bangsa Indonesia cenderung meninggalkan sejarah. Melupakan sejarah.

Revisi UU BI, Jalan Menuju Kehancuran Ekonomi

Oleh: Anthony Budiawan Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka betapa