Senator NTT: Percayakan Sepenuhnya Penggelolaan Anggaran ke Daerah

Friday 25 Sep 2015, 12 : 21 pm
by

JAKARTA-Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Adrianus Garu mengusulkan agar pengelolaan keuangan atau anggaran sepenuhnya diserahkan ke daerah. Pemerintah pusat tidak perlu terlalu campur tangan jauh, apalagi menyangkut hal teknis terkait pengelolaan anggara. Langkah ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi lambatnya penyerapan anggaran. “Biarkan daerah kelola sendiri. Pemerintah pusat jangan ketakutan berlebihan uang yang dikucurkan ke daerah hilang begitu saja,” kata Adrianus di Jakarta, Jumat (25/9).

Salah satu masalah sulit saat ini adalah lambatnya penyerapan anggaran. Hingga akhir Agustus lalu, rata-rata penyerapan anggaran, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah (Pemda) belum mencapai 50 persen. Padahal dalam kondisi bangsa yang sedang krisis seperti sekarang, penyerapan anggaran yang cepat bisa membantu mengatasi krisis ekonomi yang terjadi. Penyerapan yang cepat membantu menggerakan roda perekonomian bangsa.

Selama ini, jelasnya, pemerintah pusat tidak mempercayakan ke daerah-daerah untuk pengelolaan keuangan. Buktinya, Otonomi Daerah (Otda) sudah diberikan secara luas ke daerah. Sisa enam kewenangan yang masih dipegang pemerintah pusat yaitu masalah politik luar negeri, pertahanan, yustisi, moneter, fiskal dan agama. Namun anggaran yang diserahkan ke daerah sangat sedikit. Lebih banyak mengendap di kementerian dan lembaga. “Selama ini polanya adalah 70 persen untuk pemerintah pusat dan hanya 30 persen ditransfer ke daerah. Ini harus dibalik, 70 persen ke daerah dan cukup 30 persen di pusat. Toh, yang dekat dengan masyarakat adalah pemerintah daerah, bukan pejabat di kementerian atau lembaga,” tutur anggota Komite IV DPD yang membidangi masalah keuangan dan APBN.

Senator NTT ini juga melihat tidak tulusnya pemerintah pusat menyerahkan pengelolaan keuangan ke daerah. Hal itu terbukti dengan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tiap tanggal 2 Januari, yang tidak langsung diberikan uangnya. Masih harus menunggu petunjuk pelaksana (juklak) maupun petunjuk teknis (juknis) atau operasional dari pemerintah pusat untuk pengelolaan anggaran yang akan dikucurkan.
Celakanya, jelasnya, pengiriman juklak dan juknis baru dilakukan tiap bulan Juni sampai Juli. Selama bulan Agustus dilakukan asistensi. Baru September dilakukan perencanaan dan Oktober baru mulai proyek atau pembangunan. Bahkan ada yang masuk November baru mulai pembangunan. Padahal tutup buku anggaran adalah Desember.

Kondisi itu yang menyebabkan penyerapan baru secara masif dilakukan pada bulan Oktober.
Dia mengusulkan, pola seperti ini harus diubah. Caranya, pada saat penyerahan DIPA, sudah harus sekaligus penyerahan Juklak dan Juknis. Setelah penyerahan ketiga hal tersebut, langsung dilakukan asistensi. Pada Februari hingga Maret sudah mulai perencanaan, termasuk proses lelang. Dengan demikian April sudah mulai proyek.
Bahkan dia mengusulkan tidak perlu ada Juklak dan Juknis dalam penyerahan anggaran ke daerah. Cukup dengan penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Masalah pengelolaan diserahkan sepenuhnya ke daerah. “Sebagai orang daerah, saya tahu kemampuan mereka. Jangan menganggap remeh orang di daerah. Jika ada yang tidak benar dalam penggelolaan anggaran seperti maraknya perbuatan korupsi atau dana lebih banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, penegak hukum bisa bertindak,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Perbanas Terus Desak OJK Revisi Soal Pungutan

JAKARTA-Keluhan sejumlah perbankan terhadap pungutan yang diberlakukan Otoritas Jasa Keuangan

IPCC: Layanan Bongkar Muat Kendaraan Makin Membaik di Agustus 2020

JAKARTA-Meski sejumlah pabrikan otomotif belum berproduksi secara penuh dan kegiatan