Skema Burden Sharing Beri Sentimen Postif Bagi Pasar Obligasi

Monday 13 Jul 2020, 11 : 19 pm
by
Katarina Setiawan – Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

Oleh: Katarina Setiawan

Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah menyepakati skema burden sharing untuk pembiayaan stimulus Covid.

Pada dasarnya skema burden sharing ini bertujuan untuk membantu pembiayaan stimulus Covid-19 pemerintah dengan membagi beban bunga utang negara dengan BI.

Ini merupakan hal yang positif karena pemerintah dapat menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan utang dengan bunga yang lebih ringan – karena sebagian pembayaran bunga ditanggung BI – dan juga memastikan BI hadir untuk menyerap penerbitan SBN pemerintah.

Lalu bagaimana dampak skema burden sharing ini bagi pasar obligasi? Berikut analisa Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan.

Memasuki kuartal III-2020 beberapa negara melakukan pelonggaran lockdown dan mulai membuka kembali ekonomi. Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi? Apakah masih ada risiko second wave?

Pelonggaran lockdown yang dilakukan di berbagai negara mulai memberikan dampak positif terhadap ekonomi, terlihat dari adanya perbaikan aktivitas manufaktur, penjualan ritel, dan juga data ketenagakerjaan di berbagai negara.

Tentunya ini merupakan sinyal positif yang memberikan optimisme bahwa ekonomi global dapat bertahap pulih, sejalan dengan ekspektasi pasar dan berbagai lembaga internasional yang memproyeksikan bahwa ekonomi dapat membaik secara gradual di semester II-2020 dan di 2021 apabila Covid-19 dapat ditangani dan ekonomi dapat kembali dibuka.

Di sisi lain risiko wabah second wave masih harus diperhatikan. Peningkatan kembali kasus Covid-19, jika terjadi, berisiko untuk menghentikan proses pembukaan ekonomi yang dapat berimbas negatif pada pemulihan ekonomi.

OECD memperkirakan bahwa wabah second wave dapat mempengaruhi potensi pemulihan ekonomi di 2021.

Sebagai gambaran, OECD memproyeksikan ekonomi Amerika Serikat dapat tumbuh 4,1% di 2021 dengan skenario tidak ada second wave. Namun apabila terjadi second wave, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan hanya tumbuh sekitar 1,9% di 2021.

Walau demikian tidak mustahil untuk melakukan pembukaan ekonomi dengan tetap mewaspadai penyebaran Covid-19. Negara di kawasan Asia Utara seperti China, Korea Selatan, Taiwan, dan juga kawasan Uni Eropa sukses melakukan pelonggaran lockdown dan menjaga tingkat kasus Covid-19 tetap rendah, sehingga pemulihan ekonomi dapat terjadi dalam fase ‘new normal’.

Oleh karena itu kedisiplinan masyarakat dalam melakukan usaha pencegahan Covid-19 dan kapabilitas pemerintah untuk melakukan 3T (Test, Track, Treat) menjadi kunci untuk suksesnya transisi ke periode ‘new normal’.

Bagaimana dengan Indonesia, apa pandangan anda mengenai potensi pemulihan ekonomi Indonesia?

Kuartal III-2020 ini adalah fase transisi dari periode PSBB menuju new normal di mana PSBB akan mulai dilonggarkan dan ekonomi secara gradual dibuka kembali dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Dari sisi ekonomi, ini merupakan hal yang positif karena pelonggaran PSBB dapat mendukung aktivitas ekonomi. Seperti yang sudah terjadi di negara-negara lain, pada fase ini diharapakan mulai terjadi perbaikan data ekonomi seperti peningkatan aktivitas sektor manufaktur, penjualan ritel, dan penyerapan tenaga kerja.

Perbaikan ini tentunya tidak lepas dari stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan di Eropa.

Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan anggaran untuk stimulus Covid-19 yang mencapai Rp695 triliun, di mana alokasi anggaran terbesar senilai Rp203 triliun dialokasikan untuk bantuan sosial. Kami memandang mayoritas dari anggaran ini baru akan didistribusikan di semester II-2020, hal ini dapat mendukung daya beli masyarakat dan proses pemulihan ekonomi pada paruh kedua tahun ini.

Di sisi lain, peningkatan kasus Covid-19 manjadi faktor risiko utama yang harus diperhatikan. Seperti yang disampaikan sebelumnya, adanya second wave dapat mempengaruhi proses pemulihan ekonomi. Hal ini merupakan faktor yang sangat sulit untuk diproyeksi karena sangat bergantung pada perilaku masyarakat dan kapabilitas pemerintah.

Oleh karena itu dalam masa transisi di kuartal III ini kami memandang ekonomi berpotensi mulai menunjukkan sinyal perbaikan walaupun secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi masih relatif lemah. Kondisi ini akan diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat di kuartal IV-2020 dan ke depannya setelah Indonesia melewati periode transisi dan sudah beradaptasi pada kondisi new normal.

Pemerintah mengeluarkan stimulus besar untuk mendukung ekonomi, tentunya ini akan meningkatkan utang pemerintah. Bagaimana komentar anda mengenai kenaikan tingkat utang Indonesia?

Wabah Covid-19 adalah suatu kejadian luar biasa belum pernah terjadi sebelumnya dan memberikan dampak sangat besar terhadap perekonomian karena harus melakukan lockdown.

IMF mengatakan krisis ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19 berpotensi menjadi krisis ekonomi terburuk sejak tahun 1930. Oleh karena itu tidak hanya Indonesia saja, berbagai negara mengeluarkan stimulus fiskal terbesarnya dalam sejarah untuk memberikan bantalan sekaligus dorongan bagi ekonomi.

Harapan dari pemberian stimulus adalah agar aktivitas ekonomi bisa meningkat – baik dari sisi konsumsi maupun produksi – sehingga pendapatan negara juga meningkat dan beban utang secara gradual juga dapat turun.

Membengkaknya stimulus memang akan meningkatkan tingkat utang negara. Walau demikian, tingkat utang Indonesia masih dalam level yang relative aman. Sebelum wabah Covid-19 tingkat utang Indonesia adalah 30% dari PDB, dengan adanya stimulus dan efek dari Covid-19 tingkat utang diperkirakan meningkat menjadi 37%-38% dari PDB.

Walau melonjak tinggi, tingkat utang Indonesia masih merupakan salah satu yang paling rendah. Sebagai gambaran, IMF memperkirakan tingkat utang kawasan Emerging Asia meningkat dari 54% dari PDB menjadi 65% dari PDB.

Bank Indonesia dan Pemerintah menyepakati skema burden sharing untuk pembiayaan stimulus Covid. Apa dampak kebijakan ini bagi pasar?

Pada dasarnya skema burden sharing ini bertujuan untuk membantu pembiayaan stimulus Covid-19 pemerintah dengan membagi beban bunga utang negara dengan Bank Indonesia (BI). Ini merupakan hal yang positif karena pemerintah dapat menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan utang dengan bunga yang lebih ringan – karena sebagian pembayaran bunga ditanggung BI – dan juga memastikan BI hadir untuk menyerap penerbitan SBN pemerintah.

Kebijakan ini juga berpotensi memberi sentimen postif bagi pasar obligasi karena dapat mengurangi suplai SBN ke pasar – didukung BI yang menyerap penerbitan SBN baru – sehingga stabilitas pasar obligasi akan lebih terjaga.

Sebelumnya terdapat kekhawatiran di pasar bahwa dengan kebijakan ini berarti pemerintah bisa tanpa kendali menerbitkan utang, dan juga terdapat kekuatiran akan kapabilitas BI untuk menanggung beban utang tersebut.

Namun dalam skema final yang disetujui, kekuatiran tersebut dapat ditepis karena pemerintah menyatakan kebijakan ini hanya bersifat one-off dan BI juga melakukan analisis bahwa kondisi permodalannya masih kuat untuk melakukan burden sharing. Karenanya, kebijakan burden sharing ini berpotensi untuk direspon positif di pasar.

Sejauh ini pasar obligasi menunjukkan kinerja yang resilien, apakah prospek pasar obligasi masih menarik ke depannya?

Dalam pandangan kami pasar obligasi Indonesia masih menawarkan potensi yang menarik. Pandangan ini didukung oleh beberapa faktor:

Global yield hunt. Kebijakan moneter dan fiskal longgar secara global mendorong imbal hasil obligasi global untuk turun ke level yang sangat rendah mendekati 0% atau bahkan negatif. Kondisi ini berpotensi untuk mendorong investor global untuk mencari instrumen investasi dengan imbal hasil lebih atraktif.

Tingkat imbal hasil obligasi Indonesia menarik. Obligasi pemerintah Indonesia merupakan negara dengan peringkat kredit ‘Investment Grade’ yang menawarkan imbal hasil obligasi pemerintah tertinggi, dengan imbal hasil obligasi tenor 10-tahun di kisaran 7%. Predikat ‘Investment Grade’ dan imbal hasil yang tinggi tentunya berpotensi untuk menarik minat investor asing.

Tren penurunan suku bunga. Sejauh ini di 2020 BI sudah tiga kali menurunkan suku bunga dari 5% di awal tahun menjadi 4,25% di Juni. Dalam pandangan kami masih ada ruang bagi BI untuk melakukan pemangkasan suku bunga didukung oleh inflasi yang masih rendah dan nilai tukar yang stabil. Kondisi ini kondusif bagi pasar obligasi.

Skema burden sharing BI dengan pemerintah berpotensi mengurangi tekanan suplai penerbitan SBN di pasar.

Bagaimana dengan pasar saham, kinerja IHSG saat ini underperform dibandingkan pasar saham di kawasan, apakah ada potensi bagi pasar saham?

Pada level IHSG saat ini pasar saham menawarkan potensi menarik bagi investor yang memiliki horizon investasi jangka panjang. Menurut kami pasar belum memperhitungkan (pricing-in) potensi perbaikan ekonomi dan kinerja emiten di 2021.

Per akhir Juni 2020 IHSG mencatatkan kinerja -22,1% year-to-date, kinerja tersebut mengindikasikan kalau pasar sudah memperhitungkan potensi pelemahan fundamental emiten tahun ini di mana konsensus pasar memperkirakan laba emiten IHSG akan mengalami kontraksi 22% di 2020.

Di sisi lain, konsensus pasar memperkirakan laba emiten berpotensi membaik di 2021 dengan pertumbuhan 24%, faktor ini sepertinya belum diperhitungkan dalam level IHSG saat ini sehingga masih memberi potensi upside bagi investor.

Ke depannya, kesuksesan pemerintah mengatasi pandemi selama periode ‘new normal ’ menjadi faktor penting dalam mendorong kinerja pasar saham.

Ada saran bagi investor yang masih bimbang memilih untuk berinvestasi di reksa dana saham atau obligasi?

Kebutuhan investasi dan tolerasi risiko tiap investor berbeda, dan oleh karena itu pemilihan instrumen investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan kebutuhan masing-masing. Seperti yang disampaikan sebelumnya, pasar saham dan obligasi Indonesia masih memiliki potensi upside yang menarik ke depannya.

Yang membedakan adalah volatilitas pasarnya. Sesuai dengan karakternya dan juga iklim ekonomi yang ada saat ini, reksa dana saham akan memiliki tendensi volatilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi yang cenderung lebih stabil.

Oleh karena itu bagi investor yang mengutamakan stabilitas, reksa dana obligasi dapat menjadi pilihan, sementara bagi investor yang memiliki jangka waktu investasi panjang, mencari potensi upside lebih agresif, dan dapat mentolerir volatilitas tinggi dapat mempertimbangkan reksa dana saham sebagai pilihan.

Penulis Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) di Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PT Samudera Indonesia Tbk

Pembayaran Gaji Pensiun Kurang Rp50 Triliun

JAKARTA-Pemerintah mengungkapkan kekurangan dana untuk membayar para pensiun PNS yang

Penjelasan PLN Soal Keringanan Tagihan Listrik

JAKARTA-Kebijakan Presiden Joko Widodo meringankan beban rakyat terkait tagihan listrik