Structural Concerns Masih Menekan Rupiah

Tuesday 21 May 2013, 6 : 12 pm
by
Bank OCBC NISP

Oleh: Gundy Cahyadi, Treasury Advisory  OCBC

Di satu minggu kebelakangan ini, USD-IDR telah kembali diperdagangkan di sekitaran 9750-9800, didorong dengan penguatan USD yang mendominasi pasar mata uang dunia.

Menguatnya USD ini telah terjadi karena investor sendiri telah mengantisipasi bahwa bank sentral Fed akan segera mengakhiri program QE3nya di saat yang bersamaan di mana bank-bank sentral dunia lainnya masih terus menambah jumlah dana yang tersedia di program quantitative easingnya.

Sebenarnya, kalau kita perhatikan pergerakan nilai mata uang di EM  Asia terhadap USD sejak akhir tahun 2012 lalu, pergerakan Rupiah tidak terlalu buruk.

Rupiah tercatat menguat sekitar 0,20% terhadap USD, hanya lebih buruk setelah THB, CNY, dan MYR di EM Asia.

Yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa Rupiah telah melemah lebih dari 7% di tahun 2012, jauh dari -3,5% yang dicatat Indian Rupee sementara semua mata uang EM Asia lainnya malah menguat terhadap USD.

Oleh karena itu, memang pada kenyataannya, Rupiah masih mempunyai banyak ruang untuk melakukan “catch-up”.

Secara teori, kami juga melihat bahwa Rupiah masih terkesan undervalued terhadap USD sebanyak kira-kira 10% di saat ini.

Walau bagaimana pun, sentimen Rupiah di market masih terlihat sangat lemah karena adanya nada cemas tentang current account defisit di Indonesia, yang mungkin bersifat struktural.

Dalam perkiraannya yang terbaru, IMF memprediksikan bahwa current account defisit akan terus terlihat di Indonesia untuk 5 tahun ke depan.

Hal ini sendiri membuat investor sedikit ragu mengenai prospek Rupiah di jangka waktu medium, mengingat bahwa posisi current account merupakan salah satu ukuran fundamental yang sangat penting untuk trajektori nilai mata uang negara tertentu. 

Bagaimana pandangan pemerintah/BI mengenai hal ini?

Menteri Keuangan Chatib Basri baru saja menyatakan bahwa salah satu prioritas beliau pada saat ini adalah upaya untuk terus menjaga stabilitas Rupiah di market.

Tanda-tanda bahwa BI sendiri telah menaikan intensity mereka dalam melakukan aktivitas smoothing di market juga mengindikasikan bahwa bank sentral Indonesia itu mempunyai pendapat yang kurang lebih sama mengenai Rupiah.

Intinya, stabilitas merupakan kunci, dan tidak ada target USD-IDR di level mana pun, mengingat sentimen investor global sendiri akan menjadi faktor yang paling menentukan pergerakan USD ke depan.

Di saat yang bersamaan, kami juga berpendapat adanya resiko yang besar terhadap prospek perekonomian Indonesia, jika sentimen market terhadap Rupiah akan terus melemah.

Data pertumbuhan ekonomi di Triwulan I yang tercatat sedikit mengecewakan di 6,0% yoy telah menunjukan kesan adanya dampak-dampak yang negatif dari melemahnya Rupiah terhadap laju pertumbuhan konsumsi dan juga investasi dalam negeri.

Hal ini sendiri sebenarnya tidak mengejutkan kalau kita mengingat bahwa pertumbuhan impor sendiri telah melemah cukup signifikan di beberapa bulan terakhir dan kenyataanya adalah nilai Rupiah yang melemah telah menurunkan daya beli konsumen dan juga pemilik usaha di Indonesia.

Melemahnya Rupiah ini  sendiri tidak terlalu  berdampak kepada laju pertumbuhan ekspor Indonesia karena kebanyakan barang-barang yang diekspor dari Indonesia adalah komoditas, yang secara fundamental cenderung lebih price inelastic, yang berarti tingkat konsumsinya tidak terlalu sensitif terhadap pergerakan harganya.

Kalau memang recoveri perekonomian dunia masih belum terlihat mantap, maka ada kemungkinan yang sangat besar kalau laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa jadi akan terus menurun jika memang Rupiah masih terus melemah.

Oleh karena itu, dalam pandangan kami, komitmen dari pemerintah/BI untuk terus menjaga kestabilan Rupiah di market (menghindari perlemahan yang cenderung excessive) bisa dipercayai. 

Kami telah mendiskusikan sebelumnya bahwa rencana kenaikan harga BBM merupakan satu perkembangan yang sebenarnya positif untuk macro risk profile Indonesia dan bisa jadi membantu posisi current account defisit Indonesia, setidak-tidaknya di jangka waktu dekat ini.

Yang lebih penting (dan yang lebih susah) memang tetaplah upaya memonitori programprogram yang akan diumumkan pemerintah untuk mendongkrak upaya peningkatan produktivitas di dalam negeri, terutama di sektor manufacturing/industri yang memang telah terkesan terlantar oleh karena adanya commodity boom di 5-7 terakhir ini. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Waspada Corona, JHL Solitaire Genjot Transaksi Delivery Food Service

TANGERANG- Pandemi Covid-19 (Korona) dalam beberapa minggu ini mencemaskan masyarakat
KIB

KIB Pilih Policy Oriented Guna Bentuk Koalisi Permanen

JAKARTA-Peneliti Center for Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengungkapkan