Justru wacana-wacana seperti yang dilontarkan Menparekraf bisa memprovokasi suasana yang sudah rukun akan tergosok-gosok, membuat orang tersingggung, dan menimbulkan suasana psikologis yang tidak nyamn.
“Jangan sampai tanpa disadarinya, pernyataan Menpar justru mengadu domba umat Hindu dengan umat Muslim,” sambungnya.
Bahkan dalam konteks pengembangan pariwisatanya menampilkan kearifan lokal Bali dengan mengembangkan Kepariwisataan Budaya. Bahkan tahun 2012 diketok palu menjadi Perda No. 2 Tahun 2012.
Isi Perda tersebut merupakan sari-sari kearifan lokal Bali yang telah dibangun ratusan tahun dan tidak pernah ada wacana pariwisata Bali bersifat diskriminatif pada golongan wisatawan tertentu.
Sudirta meminta Menparekraf mendengar dan menyerap lebih banyak lagi tentang nilai-nilai budaya Bali, menyandingkannya dengan prinsip-prinsip bernegara yang berdasarkan Pancasila dan menjaga budaya Nusantara yang bhinneka ini secara baik.
Sudirta mencoba menggambarkan bagaimana Saudara Muslim di Bali telah berinteraksi sosial sangat dekat, dengan menggabungkan nama Bali dengan nama Muslim. Misalnya nama Ketut Syahruwardi Abbas, dimana Ketut diambil dari nama Bali dan Syahruwardi jelas nama Muslim.
“Saudara Muslim dan Hindu di Bali sudah ratusan tahun saling menghargai, sama-sama memberikan keramahan, apalagi bagi wisatawan Muslim. Tidak pernah ada diskriminasi, karena Bali menyediakan keramahannya bagi semua wisatawan,” jelasnya.