Sulit Mencari Pemimpin Beretika

Thursday 26 Jun 2014, 7 : 44 pm
beritaempat.com

JAKARTA-Perilaku demokrasi dalam konteks Indonesia memaknai kepemimpinan perlu dengan sikap keteladanan. Karena itu etika seorang pemimpin harus melekat. “Parameternya, itu harus lulus integritas. Makanya pemimpin itu harus konsisten dan pandai memegang amanah,” kata pengamat politik LIPI, Siti Zuhro dalam diskusi “Etika Pemimpin Dalam Kompetisi Politik”, Jakarta, Kamis, (26/06/2014).

Menurut Wiwiek-panggilan akrabnya, pemilu sekarangini merupakan koreksi perjalanan lima tahun dalam proses demokrasi. Artinya, koreksi terhadap nilai-nilai kepemimpinan. “Makanya, akan diketahui, siapa pemimpin yang konsisten. Pemimpin yang dikehendaki rakyat itu, biasanya merupakan antitesa dari kepemimpinan sebelumnya,” tambahnya.

Pemimpin yang muncul sekarang ini,  kata Siti Zuhro, menjadi tanggungjawab partai politik. “Kalau tidak, maka partai yang harus direformasi agar menggodok calon pemimpin yang berkualitas, kapabel, kapasitas, dan berintegritas karena partai itu sebagai pilar demokrasi. Karena itu kalau sampai ada politisi kutu locat dianggap wajar, ini berarti blunder bagi negara,” ungkap peneliti politik LIPI.

Kutu loncat dalam politik itu bukan hal yang sepele, remeh-temeh, dan enteng, karena akan berdampak pada fungsi dan tugas DPR RI dalam membuat UU, anggaran, dan pengawasan bisa semuanya dijalankan secara pragmatis dan oportunis. “Itulah yang menjadikan oligarki dan dinasti politik. Padahal, harus mengedepankan etika, keteladanan, konsisten dan komitmen antara ucapan dan perbuatan agar melahirkan sosok pemimpin yang diharapkan rakyat,” tuturnya

Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menegaskan pemimpin termasuk capres tidak harus lahir dari proses pendidikan formal prosedural. Karena memang tak ada sekolah kepemimpinan politik. “Jadi, partai merupakan pilar demokrasi yang menentukan proses kepemimpinan nasional, maka parpol harus didorong untuk melakukan pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang beretika, bercita-rasa, jujur, bermartabat, dan dihormati,” ungkapnya.

Diakui Margarito, pemimpin itu lahir dari proses kontroversial terhadap kondisi sosial politik yang dihadapi. Sehingga pemimpin itu benar-benar lahir dari rakyat dan untuk rakyat, bangsa, dan negara. “Tapi, faktanya politik itu menghalalkan segala cara sehingga memunculkan slogan NPWP (nomor piro wani piro?),” tegasnya

Saat ini, banyak elit politik yang mengeyampingkan etika dalam politik, maka lahirlah penguasa (bukan pemimpin) yang dzalim, dan kekuasaannya dijalankan sesuai prosedur hukum, legal formal saja. “Di luar itu, ketika negara dalam bahaya, penguasa ini tak mampu mencari jalan keluar dari bahaya yang mengancam negara itu sendiri, dan tak tahu batas-batas yang tak terlihat,” tambahnya.

Menurut Margarito, berbeda pemimpin dengan pengausa. Sebab, kalau pemimpin bertindak dan berbuat atas rasa keterpanggilan, tanggung jawab, kepedulian, dan sebagainya. Tapi,  sebaliknya pengausa itu selalu bertindak atas kewenangan, kekuasaan yang dimilikinya, dan berpegang pada teks-teks hukum dan aturan. “Penguasa tak bisa keluar dari teks-teks itu,” pungkasnya. (ek)

Don't Miss

Caleg PKS Diduga Cabuli Anak Kandung, PSI: Pantas Paling Getol Tolak RUU P-KS

JAKARTA-Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengecam tindakan biadab pencabulan yang diduga

Miliaran Rupiah Anggaran IT DPR Terbuang Sia-sia

JAKARTA-Sarana dan prasaran pendukung kinerja Anggota DPR seperti teknologi informasi