Tak Konsisten, Inilah Kejanggalan Keterangan Saksi Ahli Mudzakkir

Friday 24 Feb 2017, 8 : 36 am
by
anggota Tim Advokasi BTP, Josefina Agatha Syukur

JAKARTA-Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika Basuki Tjahaja Purnama (BTP) membongkar kejanggalan dari keterangan saksi ahli pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir dalam sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa tunggal Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama . Salah satunya, soal ketidaksinronan antara keterangan di muka persidangan dengan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Di persidangan saksi bilang penistaan dan penodaan sama saja. Tapi kemudian menyebutkan penistaan diatur Pasal 310 KUHP dan penodaan di Pasal 156a. Namun ironisnya, dalam BAP no 15 justru dia menjelaskan penistaan dalam pasal 156a huruf a,” ujar anggota Tim Advokasi BTP, Josefina Agatha Syukur di Jakarta, Jumat (24/2).

Menurutnya, persidangan dengan agenda menghadirkan saksi ahli ini paling seru. Pemicunya, keterangannya saksi ahli yang tidak konsisten.

Ketidaksesuaian keterangan saksi yang paling mencolok jelasnya terlihat dari isi BAP dengan pendapatnya di muka persidangan.  Pendapat yang disampaikan saksi ahli ini tapi tanpa dasar hukum yang jelas.

Bahkan ahli menyampaikan keterangan yang saling bertentangan.

Misalnya, dalam BAP No 15,  penistaan dan penodaan ada dalam Pasal 156a huruf a KUHP. Sedangkan dalam keterangannya di persidangan, ahli mengatakan penodaan dan penistaan adalah dua kata yang sama. Hanya bedanya, penistaan lebih merendahkan serta dalam Pasal 156a huruf a KUHP menggunakan penodaan karena itu dibuat orang Indonesia dan tidak bisa diinterpretasikan berbeda.  “Mengenai penistaan diatur dalam Pasal 310 KUHP,” imbuhnya.

Selain itu terang pengacara yang bisa disapa Fifi ini, Ahli mengatakan, kalau menyampaikan laporan ke Polisi, tidak perlu tahu tanggal (tempus) dan tempat (locus delicti) karena nanti ada proses penyelidikan. Sebaiknya juga tidak menyebutkan pelakunya supaya tidak kena pencemaran nama baik. Pelaku dan pasalnya cukup bisik-bisik saja ke Polisi,” urainya.

Kejanggalan lainnya, dalam BAP, ahli mengatakan bahwa kedudukan fatwa MUI sama dengan fatwa MA dalam hukum nasional. “Perkataan Pak Ahok, memenuhi unsur Pasal 156a huruf a KUHP. Unsur sengaja terpenuhi, karena kalau tidak ada niat jahat pasti kata-kata yang keluar tidak akan jahat serta Pa Ahok tidak beragama Islam. Pa Ahok percaya pada Tuhan lain dan bukan Allah. Unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 156a huruf a KUHP juga terpenuhi. Padahl dalam Pasal 156 a huruf a KUHP tidak ada unsur melawan hukum. “Jadi, saksi ahli ini hanya berpendapat saja dan banyak yang tidak jelas sumbernya. Secara garis besar kami melihat keterangannya tidak objektif,” tuturnya.

Senada dengan Josefina, anggota Tim Hukum BTP, I Wayan Sudirta menilai keterangan saksi ahli, Mudzakir tidak kompeten. Alasannya, saksi ahli tidak memenuhi persyaratan Pasal 1 angka 28 KUHAP.

Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

“Setelah kita tanya apa keahliannya, selain ngaku ahli pidana materil, ahli pidana formil, ketika kita kejar apakah sebatas itu karena ahlikan menerangkan masalah agamalah masalah lain, dan dia menjawab jika di UII semua itu dipelajari” katanya.

Menurut Wayan dengan banyaknya hal yang diangkat oleh ahli pidana saat sidang menjadi bukti bahwa kompetensi ahli dipertanyakan. Karena itu,  harus menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam mendengarkan kesaksian ahli.”Saksi itu mengatakan tidak masalah jika saksi pelapor tidak melihat, mendengar dan merasakan kejadian yang dia laporkan. Maka dalam hal ini sah-sah saja jika pelapor hanya menggunakan perantara ketiga seperti video jika video tersebut dapat di buktikan kebenarannya di muka persidangan,” urainya.

Padahal per definisi,  saksi, menurut Pasal 1 angka 26 KUHP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Cawapres Prof Dr Mahfud MD bersilaturahmi dengan Pengasuh Ponpes, KH Mustofa Bisri/Foto: Dok Tim Mahfud MD

Ganjar-Mahfud Siap Berdayakan Guru Ngaji Jadi Kebijakan Nasional

JAKARTA-Ketua DPP PPP Achmad Baidowi mengungkapkan program unggulan Ganjar-Mahfud yakni

Hardjuno: Memaksakan Transisi New Normal Sama Saja Bunuh Diri

DEPOK-Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho mengatakan