Terlalu Liberal, UU Lalu Lintas Devisa Harus Direvisi

Tuesday 24 Mar 2015, 9 : 06 am
by

JAKARTA-Pemerintah dan DPR diminta segera merevisi Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar.  Selain paling liberal sedunia,  UU ini merupakan salah satu UU Devisa peninggalan era IMF (International Monetery Fund). Hal ini membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah terpukul. “UU ini konteksnya dulu era liberalisasi. Kita butuh sekali memperkuat pasar modal dan menaikkan kepercayaan asing. Kita butuh stabilisasi nilai tukar,” papar  Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia di Jakarta, Senin (23/3).

Dia menilai anjloknya nilai tukar rupiah disebabkan belum ada regulasi yang memberikan proteksi terhadap posisi rupiah selama ini.  Karena itu, revisi  UU ini sangat penting untuk menopang mata uang garuda agar tetap perkasa dan berdaulat di Indonesia.  ‎“Mata uang kita sangat rentan terombang-ambing oleh arus keluar-masuk modal,” ujarnya.

Menurutnya, draft revisi UU ini sudah digarap oleh DPR periode sebelumnya. Namun, revisi tersebut terhenti. Karena itu,  Hipmi mendorong agar revisi UU ini dilanjutkan. “Dunia usaha memerlukan stabilitas nilai tukar untuk kepentingan rencana investasi dan proyeksi biaya operasional perusahaan. Hal ini disebabkan ketergantungan bahan baku impor bagi industri di dalam negeri masih sangat kuat,” imbuhnya.

Dia mengaku, Bank Indonesia  telah PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012 yang mewajibkan devisa hasil ekspor diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI tersebut terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri. “Diperkirakan, pada 2016 nanti, dana orang kaya Indonesia dengan aset finansial di atas US$ 1 juta yang diparkir di luar negeri diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 250 miliar. Bayangkan kalau dana-dana ini masuk ke sistem keuangan kita. Tentu akan memacu lending rate yang lebih kompetitif dan memperkuat likuiditas perbankan kita,” imbuhnya.

Secara terpisah, pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, krisis ekonomi yang belakangan terjadi di dunia merupakan situasi yang normal dari sebuah proses liberalisasi. “Begitu ekonomi terbuka dan liberalisasi semakin dalam maka krisis ekonomi merupakan situasi yang normal. Jarak antarkrisis ekonomi sudah semakin pendek, empat tahun terakhir krisis terus,” katanya.

Saat ini pun  jelasnya Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi dan merupakan peristiwa yang normal dialami ke depan. Oleh karena itu kebijakan untuk mengelola, menghadapi dan mengatasi krisis merupakan hal yang penting jika dikaitkan dengan upaya pemerintah menyelesaikan ketimpangan ekonomi di Indonesia. “Misalnya ketika kasus stimulus fiskal tahun 2008-2009, itu menunjukkan bahwa 80 persen paket stimulus dinikmati orang menengah ke atas. Sedikit sekali yang digunakan untuk mengatasi golongan rumah tangga miskin,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Harga Referensi Biji Kakao Naik, CPO Melemah, BK Tetap

JAKARTA- Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan harga referensi produk CPO untuk

Pengguna Rekening Ponsel CIMB Niaga Lebih dari 30 ribu

JAKARTA- Bank CIMB Niaga terus gencar memperkenalkan produk yang masuk