Tinjau Ulang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

Thursday 28 Nov 2019, 12 : 27 pm
by
Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Sementara pemerintah merencanakan akan meniadakan beberapa eselonsisasi di kementerian. Jadi, ragkap jabatan dan pengurangan eselonisasi, dua hal yang tampaknya berseberangan. Di satu pihak, pejabat sudah sejahtera di kementariannya dan masih mendapat penghasilan yang tak kalah jumlahnya dari BUMN.

Di pihak lain, jenjang PNS “dipangkas”, sehingga harapan memperoleh tambahan penghasilan yang legal bisa terganggu.

Keempat, pembenaran. Ratusan orang yang memiliki jabatan rangkap tersebut seolah negara membenarkan bahwa hanya mereka sajalah yang mempunyai kemampuan luar biasa sehingga mereka wajar memperoleh kedudukan rangkap tersebut dibanding ratusan juta penduduk Indoensia lainnya. Tentu, ini pemikiran yang sagat keliru.

Dengan kata lain, langsung atau tidak langsung negeri ini memposisikan mereka lebih superior dari seluruh rakyat Indonesia lainnya. Padahal, dipastikan tidak selalu demikian. Masih sangat banyak WNI lainya mempunyai kemampuan, keahlian dan daya kreatif serta inovatif yang luar biasa dibanding dengan para komisaris di BUMN, terutama yang berasal dari pejabat pemerintah.

Kelima, BUMN bisa tersandera. Dengan masuknya ratusan pejabat pemerintah sebagai komisaris BUMN, membuat perusahaan-perusahaan plat mereh ini sulit bersikap dan bertindak objektif, netral, independen, professional untuk mampu bersaing bisnis di kancah nasional maupun internasional.

BUMN menjadi terjebak dan tersandera dari kepentingan para komisaris tersebut.

Keenam, mereka beban BUMN. Sebagai komisaris di salah satu BUMN, mereka mendapat sejumlah fasilitas yang menjadi beban keuangan BUMN yang terkait. Beban itu meliputi antara lain gaji/honorarium, tunjangan jabatan, bonus, mobil dinas dan supir, biaya operasional, perjalanan dinas, tunjangan kesehatan dan lain sebagainya yang sangat fantastif di tengah pembiayaan BPJS kesehatan kita yang belum mencukupi.

Karena itu, tidak heran acapkali kita dengar pertumbuhan usaha BUMN dari aspek keuangan selalu bermasalah. Konsekuensinya, BUMN menjadi “terbonsai”.

Ketujuh, perlakukan yang berbeda. Ratusan pejabat kementerian bisa menjadi komisaris di BUMN. Kenap orang yang berada pada jabatan tertinggi (Presiden), menengah atau tentunya juga yang terendah (PNS golongan satu) di republik ini, menurut hemat kami, tidak menjadi komisaris di BUMN. Jadi, ketika bicara keadailan sosial, harus ada perlakuan yang sama. Nyatanya, yang terjadi perlakukan yang berbeda.

Merujuk setidaknya pada ketujuh hal di atas, saya sejatinya Kementarian BUMN perlu melakukan evaluasi keberadaan komisaris-komisaris di seluruh usaha BUMN, terutama yang bersumber dari kementerian-kementerian yang terkait dan yang lain.

Untuk itu, saya menyarankan agar para komisaris BUMN dari pejabat pemerintah perlu ditinjau ulang, Sebaiknya, komisaris dari para professional sesuai dengan bidangya. Jumlah komisaris pun harus dikurangi secara signifikan sesuai dengan kompleksitas BUMN itu sendiri. Dengan demikian, komisaris bisa bekerja lebih efektif dan efisien.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Bambang-Said

Tokoh Pasuruan Ajak Masyarakat Dukung Bambang-Said

Dia mengaku, wisata Mangrove yang ada di Pasuruan bukan hanya

Perkuat Modal Anak Usaha, Black Diamond Siap IPO Senilai Rp227,5 Miliar

JAKARTA-PT Black Diamond Resources Tbk (COAL) berencana melakukan penawaran umum