Tren Korupsi di Daerah Lewat Kebijakan

Wednesday 25 Sep 2013, 4 : 58 pm

JAKARTA-Praktik korupsi di daerah tidak lagi menggunakan pola  lama,  seperti mark up pengadaan barang. Namun modusnya melalui kebijakan yang dilegalkan. Cara ini lebih dasyat. Karena uang yang diraup sulit terdeteksi secara hukum.

“Jadi korupsi di daerah diproduksi tidak lagi dengan cara lama, tetapi melalui kebijakan yang dibuat secara legal, tetapi uangnya menguap, nggak tau kemana,” kata Pengamat Politik, Boni Hargens dalam diskusi ‘Memberantas Korupsi di Daerah’ di Jakarta , Rabu (25/9).

Menurut Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini, kajian lembaganya tentang pola korupsi di daerah setahun yang lalu, praktik korupsi di daerah berbanding lurus dengan korupsi politik anggaran. “Penguasaan politik yang diperoleh melalui pilkada secara bersamaan diikuti dengan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Itu fakta,” tambahnya.

Bahkan, Boni menduga pola korupsi yang dibangun, sudah dirancang sejak sebelum proses pilkada digelar. Keterlibatan konglomerat, birokrat, dan sejumlah preman sipil berupaya menciptakan sistem oligarki lokal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi di daerah. “Kemudian setelah pemerintan terbentuk, sumber-sumber ekonomi itu dikuasai oleh segelntir orang tersebut. Merekalah yang disebut sebagai bos-bos lokal,” terangnya

Sementara anggota DPD-RI, Instsiawati Ayus mengakui korupsi di daerah sudah sangat sistematis. Biasanya, sumber ekonomi yang digerogoti adalah sumber daya alam. Regulasi perizinan, menurutnya menjadi modus yang paling banyak digunakan. “Bagi-bagi perizinan. Ada ruang kewenangan yang sudah dikavling antara ruang kewenangan bupati dan gubernur,” paparnya.

Bahkan, di daerah pemilihannya Provinsi Riau, Intsiawati mengatakan dihamparan wilayahnya ada area yang perizinannya dikuasai banyak perizinan, diberikan oleh gubernur maupun para bupati. Penyimpangan melalui kebijakan yang dilegalkan itu seperti kasus suap penerbitan izin tambang. Dan, yang paling banyak ditemui ada di sektor kehutanan, perkebunan dan tambang. “Itu dihamparan yang sama, banyak perizinan diberikan dari mulai gubernur sampai bupati,” ujarnya.

Sedangkan Muhammad Daulat, aktivis anti korupsi Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menilai sebagai daerah otonom baru sejak 2003 lalu, Wakatobi menjadi contoh bagaimana kekeliruan elit politik di daerahnya dalam memaknai kewenangan otonomi daerah yang diberikan. “Tahun 2006, kami punya dana hibah dari pusat sebesar Rp 1,6 miliar, tapi uang sebanyak itu habis hanya dibagikan kepada orang per orang,” ungkapnya.

Tapi, kata Daulat, karena pemerintah pusat ketika itu menilai tindakan tersebut bukan sebagai bentuk pelanggaran pidana korupsi, karena menganggap sebagai daerah otonom baru, pemkab Wakatobi belum memiliki pengetahuan cukup dalam mengelola keuangan daerahnya. Sehingga tahun 2007, pemerintah pusat hanya mengeluarkan PP yang berisi seluruh dana hibah harus masuk ke kas daerah. **cea

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Isu Pergantian Nama Terminal II Bandara Soetta, Komisi VI DPR Geram

JAKARTA-Anggota Komisi VI DPR RI Sartono Hutomo mempertanyakan alasan pihak
B30

Pertamina Implementasikan B30 Demi Kemandirian Energi

JAKARTA-Pertamina mulai menyediakan Biosolar dengan kandungan FAME 30 persen atau