Sehingga proses kedaulatan rakyat di dalam DPR RI sebelum Indonesia meratifikasi perjanjian internasional harus dilakukan secara serius dalam mengambil kebijakan strategis bagi Indonesia.
“DPR RI tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi stempel dalam proses pengesahan perjanjian FTA. Tetapi sebelum perjanjian FTA itu diratifikasi, DPR RI harus melakukan penilaian dampak secara comprehensive, baik secara ekonomi, keadilan sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia, sebelum DPR RI memutuskan memberikan persetujuan kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi,” jelas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan puluhan bab dan ratusan halaman perjanjian FTA yang akan diratifikasi tidak akan mungkin dibahas hanya dalam waktu 60 hari kerja.
Butuh kajian secara seksama.
Karena jika ternyata dalam kajiannya DPR RI menemukan bahwa perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan nasional bahkan bertentangan dengan keadilan sosial, maka DPR RI wajib menolak memberikan persetujuan perjanjian Perdagangan internasional.
“Hal ini juga telah dikukuhkan dalam Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018,” ujarnya.
FTA Berdampak Langsung
Henri Pratama, dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengungkapkan bahwa FTA bukan hanya persoalan jual beli tetapi juga masalah pengaturan dan tata kelola kenegaraan.
Karenanya, dia mendorong DPR untuk lebih konsern sebagai representasi rakyat dalam sistem demokrasi yang disepakati.