“Kita sedang darurat konstitusi di sektor hulu migas. Karena semua kontrak atas nama BP Migas. BP Migas dibentuk atas dasar UU. Sementara SKK Migas dengan Perpres,” tegasnya
Dia menjelaskan Pembahasan RUU Migas di DPR berhenti, pasca putusan MK.
Oleh karena itu FPDI Perjuangan mengadakan diskusi ini dalam rangka mencari masukan.
“Kita kuatir bila nanti diketok palu di DPR, di MK dibatalkan lagi maka kita undang para pakar yang peduli dengan persoalan migas. Di negara manapun energi menjadi tulang punggung untuk pembangunan. Jadi, FPDIP berharap ada tata kelola yang baik di sektor migas,” ujar Wuryanto.
Sedangkan Pakar Hukum Perundangan, Hikmahanto Juwana yang menjadi pembicara dalam diskusi itu menegaskan ada “kesalahan” MK yang menyebabkan pemerintah menjadi kerepotan dan pontang panting membentuk pengganti BP Migas.
Salah satunya kesalahan itu adalah MK memutuskan dan sekaligus menjadi eksekutor pembubaran BP Migas.
Oleh karena itu perlu segera dilakukan perubahan UU.
“Satu-satunya jalan adalah harus diatur dalam Undang-undang. Apa merevisi UU yang mengatur BP Migas dengan memasukkan pasal tambahan atau menyusun UU baru yang mengatur pengganti BP Migas. Ini perlu didiskusikan bersama oleh pemerintah dan DPR,” kata Hikmahanto.
Komentari tentang post ini