Upaya Menekan Defisit Transaksi Berjalan Tak Strategis

Tuesday 5 Feb 2013, 8 : 19 pm
by
Pengamat Ekonomi dan Politik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinagoro

JAKARTA-Defisit transaksi berjalan yang kian melebar membuat kondisi perekonomian Indonesia dimasa yang akan datang menjadi rapuh.

Namun sayangnya, upaya pemerintah dalam menekan defisit ini kurang strategis.

“Defisit neraca perdagangan Indonesia, ini sudah terjadi sejak lama,” ujar pengamat ekonomi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinagoro di Jakarta,  Selasa (5/2).

Saat ini kata dia, pangan impor yang masuk ke Indonesia sangat masif. Tetapi anehnya, Mentri Perdagangan mematok bea masuk impor pada rate yang rendah untuk produk impor sektor pertanian.

Padahal, semestinya, produk pangan impor ini dipatok dengan rate tinggi sehingga masih ada celah untuk diturunkan pada saat diprotes. Dengan demikian, kompetitivenes produk pertanian didalam negeri masih punya bargaining position yang lebih baik.

“Sekarang, kondisi sudah terlanjur, dimana produk impor membanjiri Indonesia. Bayangkan saja, garam saja diimpor, ikan lele di impor. Ini kan kebangetan,” tegas dia.

Menurut dia, kebijakan Kementrian Perdagangan yang membuka keran impor tidak memperlihatkan keberpihakan untuk menjaga defisit transaksi perdagangan supaya tidak dalam posisi negatif.

“Ini betul-betul sangat memprihatinkan. Beras, kita menuju surplus, tetapi demi alasan buffer stock, sudah teken kontrak dengan Vietnam dan Thailand dalam jumlah yang besar sehingga petani dalam negeri tergencet,” ujar dia.

Dia melihat, kebijakan pemerintah tidak konsiten.

Pemerintah tidak memiliki master plan perencanaan pembangunan, baik skala menengah maupun jangka panjang. Semua desain kebijakan sifatnya sementara (adhock).

Bahkan, setiap pergantian rejim, kebijakan pasti berubah.

Akibatnya, impor terus meningkat karena kenaikan permintaan akibatnya pertambahan penduduk.

Sasmito menilai, kebijakan pemerintah dalam menekan defisit perdagangan tidak tepat.

Pemerintah tidak menunjukan pro terhadap produsen dalam negeri, khususnya dibidang produksi pertanian.

Padahal, masuknya produk impor ini merugikan petani Indonesia.

Di luar negeri, produsen pertanian mendapat dukungan dari pemerintahannya lewat subsidi yang luar biasa.

Sementara  Indonesia, produksi pertanian sama sekali tidak diperhatikan.

“Jangankan disubsidi, masalah fasilitas permodalan saja,  susahnya setengah mati,” ujarnya.

Lebih lanjut dia menyakini sektor pertanian Indonesia akan sangat maju jika uang untuk impor pangan ini dipakai untuk membangun sektor pertanian di Indonesia.

Pertanian Indonesia akan berkembang pesat jika pemerintah perhatian terhadap pengembangan sektor pertanian.

Sayangnya, keberpihakan pemerintah masih kecil.

Padahal sebagai negara agraris, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan produk pertaniannya tanpa harus mengimpor dari luar negeri.

“Buah-buahan, beras, gamdum, gula dll, kita bisa produksi sendiri. Dan kualitasnya diatas kualitas impor. Tetapi,  anehnya, potensi ini tidak dilihat oleh pengambil kebijakan,” kata dia.

Banjirnya produk impor kata dia akibat motivasi dari pejabat yang mau instan.

Dari kegiatan impor ini, mereka mendapat komisi yang sangat besar.

“Kalau sekarang, kasus korupsi impor daging sapi meledak, saya kira akibat dari kebijakan pemerintah yang terlalu impor oriented,” kata dia.

Dukungan pemerintah, baik dari sisi permodalan maupun pemasaran  terhadap pengusaha menengah sangat rendah sekali.

Ini mengakibatkan, pengusaha menengah ini sulit bersaing dipasar global.

“Kalau dana impor ini dipakai membangun pertanian, saya kira sangat dasyat pertanian kita,” jelas dia.

Anehnya, potensi sektor pertanian ini diabaikan. Justru pemerintah terus menggunakan uang pajak untuk membayar bunga obligasi rekap warisan utang BLBI.

Sisi lain, pemerintah justru berpihak ke sektor properti.

Padahal, krisis moneter 1998 juga disumbangkan oleh kehancuran properti.

Banyak properti yang gulung tikar karena tidak mampu membayar utang. Mereka inilah yang menggunakan dana BLBI.

Pengembang properti yang besar-besar saat ini juga masih memiliki kredit macet disejumlah bank.

“Kalau pengusaha kecil dan menengah kolaps dan tidak bisa membayar kreditnya maka asetnya disita. Tetapi kalau konglomerat seperti Anthony Salim, Syamsul Nursalim dll, justru tidak diapa-apain. Buktinya, mereka masih eksis saat ini. Jadi, memang pemerintah tidak punya niat untuk menyelamatkan pengusaha UKM,” pungkas dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Ekonom: Overhead Cost Penyebab Suku Bunga Tinggi

JAKARTA-Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha  menilai tingginya suku bunga

BI-BoJ Tanda Tangani Amandemen Bilateral Swap Arrangement

JAKARTA-Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan),