Utang Dilakokasikan Untuk Sektor Produktif

Friday 1 Feb 2019, 12 : 42 am
by
Ilustrasi

JAKARTA-Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis, Puspa Purbasari membantah bahwa utang pemerintah tidak produktif karena lebih banyak dipakai untuk belanja barang dan belanja pegawai.

Sebab, pertumbuhan belanja modal (yang biasanya diidentikkan dengan belanja infrastruktur) sebenarnya lebih tinggi daripada belanja barang. Namun karena ada perubahan nomenklatur, belanja barang jadi naik tinggi daripada belanja modal.

Itupun, Denni mengingatkan, belanja modal belum tentu lebih baik daripada belanja barang atau bantuan sosial.

Ketika ditanya apakah Indonesia bisa membangun tanpa utang, Denni menyampaikan, bisa saja, tapi sangat terbatas, karena akan berdampak pada alokasi lain.

Alasannya, tahun ini saja, belanja infrastruktur mencapai Rp415 triliun atau 2,4% dari APBN. Sementara, defisit APBN—yang artinya kenaikan utang—hanya 1,8% dari APBN. “Artinya, kebutuhan belanja infrastruktur kita lebih besar daripada tambahan utang,” cetus Siswa Teladan SMP/SMA Tingkat Nasional ini.

Menurutnya, bila tidak ada tambahan utang, akan ada alokasi lain dari APBN yang harus dipangkas demi membangun infrastruktur dalam jumlah yang sama. Atau, bila belanja non-infrastruktur tidak ingin dipangkas, maka belanja infrastruktur akan jauh merosot nilainya.

“Namun saya tidak ingin terjebak dalam pertanyaan bisa atau tidak membangun tanpa utang. Saya ingin kembali kepada basic 101 dari utang. Kenapa, sih, utang begitu diharamkan? Sementara, saya saja membeli rumah pakai utang, beli mobil pakai utang, mau mulai usaha pakai utang. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu membayar, alokasinya produktif, dan jumlahnya konservatif,” tegas Penerima Student Teaching Award dari University of Colorado at Boulder itu

Denni juga menolak anggapan bahwa Pemerintah tidak melibatkan swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Selama 2015-2019, total kebutuhan pembangunan infrastruktur diperkirakan mencapai Rp4.800 triliun. Pemerintah, apakah itu lewat APBN, APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Desa, hanya berperan 36%-nya saja. Sisanya, BUMN dan swasta.

“Lagi pula, infrastruktur seperti embung, sumur, WC, atau irigasi, tidak menarik buat swasta. Jadi harus pemerintah,” imbuh alumni SMA Negeri 3 Semarang itu.

Namun ketika pembangunan infrastruktur itu semua diharapkan bisa menjangkau seluruh tanah air, tentu ada biayanya. APBN memiliki dua sisi, debit dan kredit, yang selalu seimbang. Bila belanja naik, penerimaan pun harus naik.

“Jika tidak mau berutang, tentu sumber penerimaan yang lain, apakah pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak), harus ditingkatkan. Tidak mungkin ingin membangun lebih banyak, namun pada saat yang sama ingin memangkas pajak dan tidak mau berutang. Jadi sekali lagi, buku itu ada dua sisi. Tidak bisa kita melihatnya sepotong-sepotong,” tutup Denni

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Waskita Karya Bukukan Pendapatan Rp10,95 Triliun pada 2023

JAKARTA – Kinerja keuangan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) cenderung menurun

Tudingan IDM, Dua Direksi BTN Diduga “Bermasalah”

Jakarta—Proses RUPS PT.BTN (Persero),Tbk yang belum lama berlangsung dituding Indonesia