Oleh: Benny Sabdo
WAJAH peradilan kita semakin tercoreng perkara korupsi hingga ke level puncak benteng peradilan, yaitu Mahkamah Agung (MA). Lembaga peradilan yang seharusnya mengawal marwah penegakan hukum justru terjerat kasus korupsi. Rule of law adalah inti dari moralitas politik. Karena, pejabat publik yang melakukan korupsi tidak hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga menghancurkan komunitas politik, meluluhlantahkan cita-cita negara hukum. Pada tataran kehidupan, korupsi hadir dalam bentuk kemiskinan.
Dalam konferensi persnya tanggal 28 Agustus 2002, Transparancy International menyatakan dengan tepat: “Corrupt political elites in the developing world, working hand-in-hand with greedy business people and unscrupulous investors, are putting private gain before the welfare of citizens and the economic development of their countries.”
Korupsi pejabat publik semakin parah dan membahayakan nasib negara hukum karena sistem hukum sendiri terjangkiti penyakit korupsi tersebut. Praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat hukum menyebabkan kerusakan akibat korupsi tak terbendung. Jikalau benteng peradilan bebas dari korupsi, maka pejabat eksekutif maupun legislatif yang korup dapat dihukum secara optimal. Namun, karena peradilan sendiri juga korup, maka upaya hukum untuk memberikan efek jera pada koruptor menjadi mandul.
Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem. Sistem harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi, dan pembaruan terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya hukum sebagai cermin etika dan integritas penegakan hukum. Pendekatan sistem sebagai bahan untuk memecahkan persoalan hukum atau penyelesaian hukum maupun pendapat hukum.
Budaya hukum adalah aspek penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat selalu taat dan menyadari pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Masalah korupsi sebagai budaya hukum ini terkait dengan etika, moral masyarakat, khususnya penegak hukum. Pendekatan struktur dan substansif tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi suap.
Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam Orde Reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan di sini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga bidang sebagai berikut: structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); substance (materi hukum); dan legal structure (budaya hukum). Ketiga aspek ini – yang diambil dari pendapat Lawrence M. Friedman – sangat sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian tentang sistem hukum di Indonesia.
Pengaruh pandangan Friedman ini, khususnya yang terkait dengan tiga unsur sistem hukum, bahkan tetap ada hingga saat ini, yakni dalam politik hukum yang diberlakukan dalam Orde Reformasi ini. Pemerintahan Jokowi hendaknya memiliki visi tentang pembenahan dan sistem politik hukum. Hal itu dapat berfungsi untuk menganalisis politik pembangunan hukum nasional selama kepemimpinan Presiden Jokowi.
Penulis adalah Peneliti Respublica Political Institute dan Pengajar Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta