JAKARTA-Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) tampaknya akan menerima hantaman yang besar dari krisis global. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dan oil produk yang akan membengkakkan pengeluaran subsidi dalam APBN. Selain itu, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar yang akan melipatgandakan utang luar negeri, bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah. “Hal ini akan menjadi sumber penyebab utama yang akan menghantam sector keuangan pemerintah dalam 2014. Artinya, Indonesia tengah menghadapi darurat ekonomi nasional,” ujar Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ), Riza Damanik saat menyampaikan Refleksi 2013 dan Proyeksi 2014 ‘Politik Etalase dan Rapuhnya Kedaulatan Ekonomi Bangsa’di Jakarta, Senin (30/12).
Menurutnya, pemicu utamanya adalah pembengkakan subsidi energi yakni subsidi BBM dan listrik. Belanja subsidi energi di RAPBN 2014 melonjak Rp 44,1 triliun, dari Rp 284,7 triliun menjadi Rp 328,7 triliun. Selain itu pemicu yang lebih keras adalah membengkaknya nilai utang luar negeri pemerintah akibat merosotnya rupiah. Bahkan untuk menutup pengeluaran APBN yang semakin besar untuk membayar bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah terus mengakumulasi utang luar negeri dan dalam negeri.
Padahal data Bank Indonesia (BI) menunjukkan posisi surat utang negara sampai dengan Oktober 2013 mencapai Rp 915,175 triliun. Sementara Posisi utang luar negeri pemerintah USD 123,212 miliar. Dengan demikian pada tingkat kurs 12.000 maka total utang pemerintah secara keseluruhan adalah Rp 1.478,544 triliun utang luar negeri + Rp. 915,175 triliun utang dalam negeri. Sehingga utang pemerintah keseluruhan adalah Rp. 2.393,719 triliun.
Sebagaimana diberitakan, rencana utang pemerintah pusat pada 2014 mencapai Rp 345 triliun. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal 2014. Sisanya sekitar Rp 140 triliun adalah utang untuk melunasi utang-lama yang jatuh tempo.
Cara pemerintah mengatasi masalah dengan menumpuk utang akan semakin menambah masalah perekonomian dimasa yang akan datang. Dampaknya memperburuk fundamental ekonomi dan meningkatkan kerentanan nilai tukar. Hal paling membahayakan adalah negara akan semakin tenggelam dalam cenkraman bangsa lain oleh beban utang luar dan dalam negeri.
Indonesia terus mengalami deficit perdagangan sepanjang 2013. Deficit kembali terjadi dalam bulan oktober senilai USD 1,89 miliar. Sepanjang Januari Oktober defisit mencapai 6,36 miliar USD (Kementrian Perdagagan RI). Defisit perdagangan sepanjang Januari-Oktober sebagian besar disumbangan oleh impor migas sebesar USD 37,11 dibanding ekspor USD 26,47 atau mengalami defisit senilai USD – 10,64 miliar. Defisit transaksi berjalan sepanjang Januari–Oktober mencapai USD -24,276 miliar, sedangkan defisit neraca pembayaran mencapai USD -11,212 miliar.
Data BI jelasnya menunjukkan Utang Luar Negeri pemerintah sampai dengan kwartal III (Oktober 2013) senilai USD 123,212 miliar dan posisi Utang Luar Negeri swasta USD 136,655 miliar. Total utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai USD 259,867 miliar. Dengan demikian secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam rupiah mencapai Rp. 3.118,404 trliun. Kondisi ini berimplikasi terhadap Pembiayaan pokok dan bunga pemerintah USD 1.283 miliar. Pembiayaan pokok dan bunga swasta pada kwartal III senilai USD 30.223 miliar. Total pembiayaan pokok dan bunga pemerintah dan swasta pada kwartal III 2013 mencapai USD 31.506 miliar.