Koruptor Diduga Rencanakan Pembakaran Lapas

Friday 19 Jul 2013, 4 : 27 pm

 JAKARTA–Rusuhnya Lapas di beberapa daerah diduga bukan hanya disebabkan overload kapasitas Lapas dan perlakuan tidak manusiawi terhadap narapidana (napi). Namun juga kemungkinan ada pengaruh dari napi yang terkena dampak  pemberlakuan PP 99/2012, terhadap napi koruptor, narkoba dan terorisme. “Bisa saja, napi koruptor ini melakukan mobilisasi, dia memiliki uang dan kekuatan jaringan,” kata Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida dalam diskusi Perhatian dan Upaya Minimalisir Konflik Lapas di Berbagai Daerah,” bersama pakar hukum pidana FH Usakti, Yenti Garnasih dan Ketua Lembaga Demografi FEUI, Sonny B Harmadi di Jakarta, Jumat,(19/7)

Oleh karena itu, lanjut La Ode, sebaiknya memang ada pemisahan terhadap para napi tersebut di Lapas. Apalagi masing-masing napi memiliki karakter dan perilaku yang berbeda. “Napi koruptor, Narkoba dan terorisme memang harus dipisahkan dari para napi lainnya, misalnya kasus pembunuhan, pencurian dan lainnya,” tambahnya.

La Ode sepakat koruptor memang tak boleh mendapatkan remisi. Apalagi para napi koruptor ini sudah mendapatkan hukuman yang ringan.  “Negara tidak boleh kalah dengan koruptor. Maka dengan PP 99/2012, koruptor tak dapat remisi. Hukuman koruptor saat ini masih rendah, bayangkan kalau masih mendapat remisi Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan 17 Agustus,” paparnya.

Sementara itu, Pakar hukum pidana Yenti Garnasih menilai aksi kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan itu sebagai pembiaran negara. Karena sejak tiga kementerian sebelumnya masalah yang terjadi di seluruh Lapas di Indonesia itu sudah diketahui oleh pemerintah. “Kondisi Napi dan Lapas yang memprihatinkan itu sudah terjadi sejak ketiga kementerian sebelumnya, namun oleh pemerintah dibiarkan. Bahkan pembinaan Napi terus makin melemah. Ditambah lagi dengan menerbitkan PP 99 tentang pengetatan remisi, di mana Napi terancam tak dapat remisi apapun,” tegas Yenti.   

Diakui Dosen FH Usakti ini, penerbitan PP itu secara hukum tidak benar. Seharusnya PP itu dicabut terlebih dahulu, termasuk memperbaiki sikap diskriminatif antar napi di Lapas. “Apalagi tidak semua Napi bisa membayar petugas untuk mendapatkan fasilitas, pelayanan, dan bahkan keluar-masuk Lapas. Jadi, cabut dulu UU-nya sebelum menerbitkan PP. Itu jelas kelengahan negara dan sudah terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.

Dari 165 ribuan Napi menurut Yenti, lima puluh persennya adalah narkoba. Napi koruptor juga terus meningkat, karena di pengadilan juga ada korupsi, dan di Lapas ada korupsi. “Tak pernah memikirkan pembangunan Lapas, yang ada pembangunan mall. Sedangkan napi koruptor yang punya uang mendapat pelayanan mewah. Untuk itu, pemerintah jangan membiarkannya,” imbuhnya.

Sementara itu Sonny Harmadi menyoroti banyak residivis yang kembali melakukan kejahatan, berarti pembinaan di Lapas itu gagal. “Padahal, criminal justice system, itu harus berhasil menjadikan Napi itu begitu keluar dari penjara perilakunya akan lebih baik lagi. Kalau tidak, berarti pembinaan di Lapas gagal. Apakah memang anggarannya kurang? Kalau benar berarti sistem anggarannya harus diperbaiki,” pungkasnya. **can

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Menyambut Era Suku Bunga Rendah

JAKARTA-PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (“MAMI”) menyampaikan ulasan dan proyeksi
Perkembangan digital yang pesat turut memengaruhi cara korporasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) beroperasi di berbagai sektor, tidak terkecuali sektor keuangan dan perbankan

DBS Treasures Hadirkan Inovasi Digital Berkelanjutan

JAKARTA-Sebagai bagian dari misi menuju future of banking dan transformasi