JAKARTA-Penerapan sanksi RUU Keadilan dan Keseteraan Gender (KKG) terhadap perusahan atau corporate dinilai sangat lemah. Karena tak ada pasal yang berani melakukan pencabutan ijin usaha terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran. “Tidak sampai pada pencabutan ijin usaha perusahaan. Kita hanya berikan sanksi yang mendidik dan membangun,” kata Ketua Panja RUU KKG, Sayed Fuad Zakaria dalam diskusi “RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)” bersama Nini Rahayu dari Komnas Perempuan di Jakarta, Selasa (9/7)
Salah satu sanksinya, kata Sayed, misalnya memberikan reward kepada perusahaan ataupun lembaga pemerintah yang telah melaksanakan dan memberikan perhatian pada RUU KKG ini. “Kita beri reward bagi yang melaksanakan dengan baik, namun bagi lembaga/kementerian yang belum melaksanakannya, ya kita potong anggarannya,” ujarnya.
Menurut Sayed lagi RUU KKG ini akan mendorong negara dan masyarakat memberikan peluang dan partisipasi sama terhadap kaum perempuan dan lelaki dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Termasuk di dalam keluarga harus mendapat perlindungan. Untuk itu Perda yang bertentangan dengan UU harus dibatalkan,” tandasnya
Terkait hal-hal yang bersifat teknis lanjut Sayed, maka hal itu akan diatur melalui peraturan pemerintah (PP) yang dikoordinir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan. “Pada prinsipnya kita semua, lembaga negara berkewajiban meningkatkan partisipasi perempuan dan mencerdaskan seluruh masyarakat dan juga parpol untuk memberikan hak yang sama terutama bagi mereka yang berkualitas,” ujarnya.
Sementara itu Ninik menjelaskan soal sanksi terhadap perusahaan baik BUMN maupun swasta. Tentu hal ini akan menjadi direkomendasikan kepada Kementerian BUMN dan Kemenakertrans. “Jadi untuk BUMN kita serahkan pada Menteri BUMN dan yang swasta, kita serahkan pada Kemenakertrans,”ujarnya.
Diakui Ninik, realitasnya memang masih terjadi diskriminasi sosial politik, pendidikan, ekonomi, budaya dan sebagainya, yang berbasis gender. “Tapi, harus diingat gender itu tak identik dengan perempuan dan atau lelaki. Meski kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Jadi, DPR harus memastikan materi RUU ini tak bertentangan dengan konstitusi,” tambahnya.
Menyinggung kuota 30 persen perempuan dalam pemilu, Nini menjelaskan kuota itu bisa diartikan jumlah maupun kualitas. Dia menyontohkan kalau perempuan itu doktor dan tinggal di kota, maka tak perlu lagi didorong untuk terlibat dalam politik. Sebaliknya, kalau mereka itu berpotensi dan cerdas, tapi tinggal di daerah pedalaman dan sulit mendapatkan akses politik, maka mereka ini harus didorong.
Menurut Ninik, pemerintah tidak menjalankan UU KKG ini, maka akan dipermalukan di dunia internasional di mana UU ini merupakan payung hukum dari semua aturan perundang-undangan terkait gender. “Ada 282 kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro perempuan dan 8 Perda sudah diklarifikasi oleh Kemendagri karena diskriminatif terhadap perempuan yang berekspresi,” pungkasnya. **can