OTT Harus Jadi Momentum Parpol Berbenah Diri

Monday 11 Jun 2018, 12 : 32 am

Oleh : Azmi Syahputra*)

Menjelang Pemilukada 27 juni 2018 yang semakin dekat, justru operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga anti rasuah terhadap pejabat negara makin meningkat jumlahnya.  Kasus terakhir, OTT yang terjadi di Kabupaten Blitar dan  Tulungagung. Kedua Kepala daerah akhirnya menyerahkan diri ke KPK.

Salah satu faktor penyebab tingginya kasus korupsi, karena faktor biaya kampanye politik yang besar dan menguras dana. Hal ini memang karena permintaan kebutuhan dana atas nama pemilih guna meraih suara.

Tingginya biaya politik dan mahalnya suara pemilih mendorong kepala daerah yang sudah terpilih berusaha mengembalikan “modalnya”. Sehingga tak bisa menghindar dari aksi korupsi.

Perilaku korupsi kepala daerah mudah terendus oleh KPK. Karena ada yang membantu lembaga ini. Setidaknya, ada dua jenis kelompok masyarakat dalam membantu OTT, sehingga KPK menjadi lebih mudah bekerja. Pertama-memang ada masyarakat yang cenderung sensitif dan aktif memantau atau melaporkan kasus-kasus korupsi. Masyarakat ini masuk kategori kelompok    yang lurus. Kedua-Kelompok yang melapor ke KPK. Karena kelompok ini tidak mendapat bagian dari “bancaan” proyek anggaran negara dalam hal pembagian.

Kedua jenis kelompok inilah  yang menjadi bagian mitra KPK untuk mengungkap OTT yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pemilukada serentak tahun 2018. Secara personil,  KPK memang terbatas. Oleh karena itu,  kerja KPK akan menjadi lebih mudah. Karena mendapat bantuan dan  partisipasi atas keterlibatan dari kedua jenis kelompok masyarakat ini.

Yang jelas, Pilkada serentak 2018 ini lebih kental dengan perilaku aroma OTT dibanding formulasi solusi atau program unggulan kampanye dari calon. Karena itu,  pemerintah maupun partai politik  perlu melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap pilkada langsung. Kenyataan di lapangan, berapa kali OTT dijadikan momentum agar menjadi yang terakhir, namun  faktanya selalu terjadi lagi berulang-ulang.

Biaya politik yang besar, mau tak mau membuat calon kepala daerah rentan untuk berbuat ceroboh dan curang dengan melakukan tindakan korupsi .

Tingginya biaya Pilkada  tersebut antar lain, untuk membayar “perahu partai”, biaya koalisi partai,  kampanye, sosialiasi dan mendanai relawan pendukung. Termasuk membiayai hal-hal teknis lain yang harus disiapkan oleh calon kepala daerah.

Namun apapun alasannya aroma Pemilukada rasa OTT merupakan wujud  kerja KPK. Karena itu patut dan harus diapresiasi masyarakat. Bahkan KPK terus bergerak menumpas korupsi, baik yang dilakukan penyelenggara negara maupun kader partai .

Korupsi sangat berbahaya jika dilakukan oleh kader partai. Padahal kader partai harus menjadi contoh dan panutan masyarakat. Oleh karena itu, partai harus berani memperbaiki proses perekrutan kader dan caleg. Begitupun seleksi terhadap kandidat  kepala daerah, harus diperketat. Karena kader partai yang terkena OTT, maka dampaknya merusak mesin partai. Sehingga tidak ada cara lain untuk memperbaiki diri,kecuali partai harus melakuka evaluasi sistem rekrutmen. Artinya, partai harus  tegas dan berani menerapkan komitmen serta sanksi kepada kader yang “rusak”.

*)Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

CBA: Biaya Pencitraan DPD Sebesar Rp1,5 Miliar/Bulan

JAKARTA-Biaya pencitraan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ternyata sangat mahal sekali.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Terima Award Tokoh Standardisasi

JAKARTA-Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono mendapatkan