Soal RUU KUHP, Komnas Perempuan Minta Penikmat PSK Dikenai Hukuman

Tuesday 19 Feb 2019, 5 : 32 pm
Anjasmara

JAKARTA-Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ternyata belum mengatur soal pidana terkait prostitusi online. Namun begitu Komnas Perempuan mengusulkan agar para user/pengguna terhadap perempuan yang dilacurkan (Pedila) harus dihukum.

“Sementara untuk perempuan yang terjebak di dalam prostitusi harus dilakukan perlindungan dan pemulihan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati dalam diskusi “Akankan soal Prostitusi Masuk RUU KUHP Seperti Keinginan Polisi” bersama anggota Komisi III DPR F-PKS Nasir Jamil dan Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar di Jakarta,Selasa (19/2/2019).

Pihaknya, kata Sri,menolak istilah pekerja seks komersial. Karena hasil pemantauan Komnas Perempuan ternyata tak seorangpun perempuan mengaku bahwa PSK itu pilihan hidup.

“Mereka sadar bahwa ini melanggar agama. Ini tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Tentu ini siksaan buat kami, penderitaan buat kami yang ada di prostitusi,” tambahnya.

Karena itulah, lanjut Sri, perempuan yang terjebak dalam prostitusi harus mendapat perlindungan. Makanya, tidak cukup upaya pemulihan hanya dengan menyiapkan mesin jahit , alat kosmetik atau pemberian ekonomi. Namun bagaimana mekanisme agar masyarakat bisa menerima kembali.

“Supaya mereka bisa menikmati hak hidupnya seperti sedia kala. Itu yang penting untuk dipikirkan supaya dalam proses penegakan hukum, tidak hanya berhenti di situ saja,” paparnya

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Jamil mengungkapkan kasus prostitusi online, terhadap Vanessa Angel di Surabaya, Jawa Timur hanya dikenai Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang penyebaran foto dan vidio asusila, dan bukannya sebagai perempuan yang dilacurkan atau pedila.

Karena itu UU KUHP yang sedang direvisi saat ini harus mengatur baik untuk pelaku, pengguna, dan mucikari. Mantan Gubernur Jatim Soekarwo misalnya minta perempuan yang terlibat prostitusi harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya.

Sementara itu Gubernur Jatim Khodifah Indar Parawansa meminta penggunanya (laki-laki) yang terlibat juga harus dikenai hukuman yang setimpal.

“Jadi, sampai hari ini Polda Jatim pun sulit mengenakan pasal prostitusi online dalam kasus Surabaya itu, karena belum diatur dalam KUHP,” tegas anggota Komisi III DPR M. Nasir Djamil.

Hal itu disampaikan dalam diskusi ‘Akankan Prostitusi Masuk RUU KUHP Seperti Keinginan Polisi’ bersama komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati dan pakar hukum pidana Usakti Abdul Fickar Hadjar di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (19/2/2019).

Nasir Djamil menceritakan setelah bertemu Polda Jatim itu, jumlah artis dan mantan putri Indonesia yang terlibat jumlahnya mencapai ratusan. Mereka beralasan terjebak gaya hidup; untuk kebutuhan perawatan kecantikan, mencicil rumah, mobil, dan barang-barang branded atau bermerek lainnya yang harganya sangat mahal.

Hanya saja tarifnya bukan Rp 80 juta, tapi setengahnya, dan di bawahnya lagi. Menyebut harga tinggi itu hanya untuk menjaga eksistensi prostitusi, meskiada juga yang bertarif Rp 150 juta.

Pasca penangkapan di Surabaya memang dunia prostitusi online tersebut sepi, namun bisa ramai lagi di tempat lain. Mengapa? Prostitusi ini sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri.

“Tapi, intinya harus diatur oleh UU karena prostitusi ini melanggar etika masyarakat, aturan agama, dan tidak sejalan dengan Pancasila bahwa Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,” pungkasnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Refleksi Partai Golkar 2016, Membangun Demokrasi Berkeadaban

JAKARTA-Partai Golkar melihat fundamental demokrasi Indonesia dalam ujian yang serius.

DPR Tunggu Penjelasan Presiden Soal Archandra

JAKARTA-DPR belum mengambil sikap terhadap pemerintah terkait kewarganegaraan ganda Archandra