Kritisi Program EBT, Legislator Nasdem: Banyak Masalah Baru Mucul, Jadi Beban Negara

Senin 28 Mar 2022, 8 : 06 pm
by

JAKARTA-Anggota Komisi VI DPR, Rudi Hartono Bangun mengkritisi program pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang dilakukan PT PLN.

Pasalnya, pengembangan EBT ke depan ini justru menimbulkan problem masalah baru dam menjadi beban negara.

“Masalahnya, investasi pembangkit listri EBT ini masih mahal ketimbang pembangkit listrik dari fosil, yakni batu bara dan minyak bumi,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Dirut PT.PLN, Darmawan Prasojo di ruang rapat Komisi VI DPR, Senin (28/3/2022).

Dengan mahalnya biaya investasi, kata Anggota Fraksi Nasdem, maka otomatis Tarif Dasar Listrik (TDL) menjadi ikut mahal.

Tidak hanya itu, harga yang mahal itu membuat pemerintah harus memberikan subsidi energi.

“Subsidi energi ini yang tinggi, maka membuat beban APBN semakin berat. Dampaknya juga akan kepada rakyat. Negara jadi terbebani,” ujarnya.

Disisi lain, kata Legislator dari Dapil Sumsel III, masalah lainnya, adalah soal pertumbuhan konsumsi listrik yang belum signifikan.

“Sehingga hal ini membuat PLN kelebihan pasokan listrik. Apalagi dengan skema take for pay, dimana PLN yang harus membeli.”

Oleh karena itu, lanjut Rudi, dengan porsi EBT yang lebih dominan, maka harus ada cadangan pasokan yang bisa diandalkan.

“Pak Dirut PLN tadi, menyebutkan bahwa pernah terjadi kendala cadangan EBT di Eropa, sehingga membuat situasi jadinya amburadul.”

Yang perlu diperhatikan juga, sambungnya, bahwa pengembangan EBT harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian rakyat. Kalau, rakyat sedang susah seperti sekarang ini, namun harga jual listrik mahal, tentu harus dipikirkan dampaknya.

“Pengembangan listrik EBT ini, jangan kemudian menjadikan Indonesia sebagai pasar barang Impor. Apalagi  Presiden Jokowi tidak suka dengan impor-impor, karena peralatan EBT ini mayoritas masih barang impor,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan ketidakstabilan energi baru terbarukan memberikan tekanan terhadap sistem pembangkit listrik, sehingga diperlukan sistem digital untuk mengatasi tekanan itu.

“Dengan masuknya era energi baru terbarukan berbasis alam, angin kencang listrik naik, angin sepoi-sepoi listrik turun, kami harus mengimbangi itu, tentu saja kami harus membangun sistem digital. Untuk itu, selama dua tahun ini kami fokus melakukan digitalisasi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin, (28/3/2022).

Lebih jauh Darmawan menjelaskan dulu fluktuasi listrik hanya terjadi pada demand saja, yaitu siang konsumsi listrik naik, sore turun, malam hari naik lagi, dan tengah malam konsumsi listrik turun.

Ketika masuknya pembangkit EBT, seperti listrik tenaga surya dan angin yang bersifat intermitten, membuat perseroan kian sering mengatur pengoperasian pembangkit listrik saat PLTS memproduksi listrik, maka pembangkit energi fosil yang dimiliki PLN akan diturunkan, lalu saat jam 2 siang produksi listrik PLTS turun, maka pembangkit energi fosil dipacu untuk menghasilkan listrik.

“Di pembangkit ada 5.000 sensor, dari 5.000 sensor itu harus dibangun suatu expert system, ini kepanasan, tekanan kurang, dan lain-lain langsung dilakukan koreksi. Tanpa adanya digitalisasi pembangkit tersebut, pembangkitnya menjadi kurang efisien,” imbuhnya. ***

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

BUnga Bank

Presiden Minta Perbankan Buka Kancab di Wamena

JAKARTA-Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta perbankan harus mendorong penyaluran kredit

Pemda Berharap APBD 2021 Tanggap Terhadap Kondisi Pandemi Covid-19

BOGOR-Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto beranggapan, sejumlah daerah termasuk Kota