Perundingan Jenewa Mengancam Pertanian Indonesia

Wednesday 20 Nov 2013, 6 : 23 pm
by

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak ikut menyepakati perkembangan terakhir dari draft teks Proposal G33. Draft teks tersebut mendesak agar Negara-negara anggota WTO menyepakati “Peace Clause” yang diusulkan oleh negara-negara maju dengan jangka waktu hingga 4 tahun. Hal ini merupakan perkembangan terakhir dari proses perundingan WTO di Jenewa pada (19/11) menjelang pelaksanaan KTM IX WTO di Bali pada 3-6 Desember 2013. “Apa yang terjadi dalam perundingan di Jenewa hari ini semakin membuktikan bahwa WTO sangat merugikan kita dan lembaga itu memang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat petani dan nelayan di Dunia. Jika Pemerintah Indonesia tetap menyepakati draft teks tersebut, maka pertanian kita akan semakin hancur,” ujar Direktur Eksekutif IGJ M.Riza Damanik dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (20/11).

Sebelumnya, Negara-negara berkembang yang tergabung di dalam G33 di WTO, dimana Indonesia sebagai ketuanya, mengusulkan sebuah proposal tentang penghapusan pembatasan pemberian subsidi pertanian bagi negara berkembang untuk kepentingan Public stockholding dan food security. Namun, Negara maju menolak Proposal G33 dan mengusulkan ‘Peace Clause’ sebagai jalan keluarnya dengan jangka waktu 2 tahun, yang akhirnya diperpanjang menjadi 4 tahun.

Peace Clause adalah ketentuan untuk mengecualikan sementara dalam jangka waktu tertentu terhadap aturan di dalam Perjanjian sehingga Negara berkembang dilepaskan dari segala bentuk sanksi.

Berdasarkan pengamatan IGJ, kata dia, pertanian Indonesia telah hancur akibat liberalisasi. Terhitung sejak 2009 hingga 2012, nilai impor pangan Indonesia meningkat tajam yang pada 2009 telah mencapai US$ 5,94 Milyar dan pada 2012 meningkat hingga US$ 12,05 Milyar. Hal ini kemudian berdampak terhadap pelemahan daya saing petani lokal yang mengalami kerugian terus-menerus.  “Ketergantungan impor telah memicu menurunnya angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dari 38,36 juta orang di 2009, turun di 2011 menjadi hanya 36,54 juta orang,” tambah Riza.

Sebagai informasi, selama ini negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), terus meningkatkan jumlah subsidi untuk pertaniannya dibandingkan Indonesia. Terhitung subsidi pertanian AS pada tahun 1995 sebesar US$ 46 Miliar dan pada 2010 telah meningkat hingga mencapai US$ 120 Miliar. Begitu juga dengan Uni Eropa, pada 1995 subsidi pertaniannya sebesar € 19 Miliar dan pada 2010 meningkat hingga mencapai US$ 64 Miliar. Inilah yang menyebabkan harga produk impor jauh lebih murah daripada produk lokal. “Mendekati pertemuan Bali, WTO semakin menunjukkan watak aslinya yang anti terhadap kesejahteraan petani dan nelayan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Indonesia meninjau kembali keanggotaan Indonesia di WTO dan segera menyiapkan proposal alternatif untuk membangun sistem perdagangan multilateral”, tutup Riza

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

FITRA: Proyek Gedung DPD Di Daerah Berpotensi Mark Up

JAKARTA-Pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di sejumlah provinsi

Kisah Ustad Mudhakir, Guru Ngaji Jokowi

Mudhakir muda kala itu baru saja lulus dari Ma’had Aly