Jangan Tumbalkan Anak Muda

Monday 9 Dec 2013, 6 : 17 pm
by
KH Maman Imanulhaq

Oleh: KH Maman Imanulhaq

Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, yang sekarang adalah Wakil Gubernur Jakarta, tidaklah muncul tiba-tiba dengan kekuatan sendiri.

Selain didukung oleh rekam jejak di dunia politik saat menjadi Bupati Belitung Timur, Anggota DPR dari Partai Golkar, Ahok juga memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadanya.

Namun kesempatan itu tidak datang dengan sendirinya.

Selain didorong oleh sekelompok “negarawan tak berstatus” yang mendasarkan diri pada panggilan ibu pertiwi serta visi kebangsaannya, kesempatan itu juga diberikan oleh generasi di atasnya.

Mereka yang punya prinsip, ” Saat yang muda bisa mengalahkan aku, maka saat itulah kemenangan aku raih”.

Secara sengaja atau tidak, pemberian kesempatan dari Prabowo Subianto – Ketua Umum Partai Gerindra kepada Ahok, atau tokoh senior kepada yang yunior atau yang tokoh nasional kepada tokoh daerah, adalah gambaran yang sebenarnya diharapkan dan seharusnya terjadi di Indonesia pada masa keterpurukan pemimpin nasional.

Namun jika melihat kondisi dan situasi politik yang terjadi saat ini di Indonesia, gambaran ideal yang pernah terjadi itu sulit terjadi.

Para calon pemimpin nasional yang muncul adalah generasi pemimpin bangsa yang tidak mau kehilangan kekuasaannya dengan berbagai argumennya.

Bahkan lebih parah lagi, kelompok muda menjadi tumbal dari kepemimpinan kelompok tua.

Mengapa tumbal?

Lihat saja, kasus korupsi yang terjadi dan merebak, tidak bisa dilepaskan dari peranan kaum tua kepada kaum muda.

Intrik tingkat tinggi di dunia politik kaum tua juga menjadi contoh jelas bagi kaum muda bagaimana harus “survive” di dunia politik yang kotor.

Konflik horizontal yang tak kunjung berhenti dan senantiasa berlarut-larut dalam penyelesaiannya adalah contoh buruk kaum tua pemegang kekuasaan kepada kelompok muda yang sedang belajar.

Akibatnya, yang sangat jelas, anak muda yang tidak memiliki keteladanan kaum tua, kelompok muda tidak memiliki figur ketokohan kaum muda, akhirnya mencari jati diri dengan narkoba,  free sex dan vandalisme berupa tawuran.

Sadar atau tidak sadar, kaum tua yang korupsi, berintrik, berkonflik, yang tidak memahami dan menjunjung tinggi nilai pluralisme, memberikan contoh dan sekaligus mengajari kelompok muda berperilaku.

Dalam situasi di mana globalisasi gamang dengan penolakan disana-sini, Indonesia harusnya bisa memimpin.

Namun kesempatan itu tidak dapat dimanfaatkan oleh pemimpin bangsa Indonesia. Alasannya adalah, ibarat sepakbola, semua pemain ingin di depan, namun tidak menyadari bahwa gawang kebobolan.

Dan sekali lagi, generasi muda yang jadi korban.

Hal ini bisa terjadi karena bangsa Indonesia telah kehilangan nilai-nilai kebangsaannya, tidak memiliki kesabaran dalam berjalan dan mencari jalan pintas untuk naik, serta tidak memiliki kesadaran akan makomnya.

Semakin jauh para pemimpin dari prinsip-prinsip keadilan dan cinta kasih, mereka akan melahirkan apa yang dikatakan Filsuf dan Ilmuwan Prancis peraih Nobel, Alexis Carrel, sebagai kehancuran.

Dikatakannya, bila substansi keberagaman telah merosot dan diabaikan sebuah bangsa apalagi pemimpinnya, maka bangsa itu sedang menyirami benih-benih dekadensi moral, disintegrasi serta memudarnya identitas – jati diri bangsa tersebut.

Oleh karena itu, cara yang termudah untuk melihat apakah pemimpin bangsa ini bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan negaranya, adalah dilihat dari hasil yang dilahirkan dari perilaku mereka.

Selain itu, yang harus dilihat sebagai hasil lainnya adalah apakah kaum muda bangsa menjadi tumbal dari perilaku para pemimpin bangsa ataukah menjadi subyek dari perilaku mereka.

Tengok saja, apa yang dilakukan kelompok muda dalam hidup bernegara atau berbangsa, itu merupakan wujud jelas dari tingkah laku para tua pemimpin bangsa.

Dan menurut saya, kelompok muda Indonesia telah menjadi tumbal atau ditumbalkan oleh kaum tua pemimpin bangsa.

Kasus korupsi, konflik horisontal tak terselesaikan, dan pluralisme yang tidak dihargai sebagai nilai adalah “bayi-bayi” yang dilahirkan oleh kepemimpinan kelompok tua sekarang.  

Sehingga jangan berharap dalam situasi yang dikatakan oleh Alexis Carrel, kelompok tua akan memberi kesempatan kepada kelompok muda untuk memimpin bangsa, bahkan beriringan dengan kelompok tua sebagai pendamping.

Lebih jauh lagi, oleh karenanya jangan heran, yang terjadi kemudian adalah terjadi gap yang sangat besar di dunia pendidikan, khususnya antara institusi pendidikan dan dunia penerima kerja.

Sebenarnya, kalau belajar dari pengalaman Ahok, seharusnya pemimpin nasional bisa datang dari daerah dan tidak hanya melulu dari kelompok dinasti apapun sebangsanya.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tokoh daerah juga memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menerima kesempatan ?

Jika kelompok muda yang dilahirkan tidak bedanya dengan kelompok tua yang melahirkan dalam perilakunya artinya, kelompok “AHOK” adalah kelompok pengecualian. Apakah benar demikian? Saya kira, kita semua yang bisa menjawab, kemana negara dan bangsa ini akan dibawa.

Namun agar kita semua paham dan menyadari atas perilaku kita semua, bahwa usia Indonesia akan jauh lebih panjang daripada usia kita masing-masing. Sehingga pandangan sempit dan perilaku yang mengabaikan kaum muda sebagai penerus kepemimpinan hendaknya disudahi.

Cepat atau lambat akan banyak muncul AHOK-AHOK lain yang mencintai negara dan bangsanya dengan sungguh-sungguh.

Penulis adalah Majelis Nasional Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Respons Usulan Kementerian BUMN, Sejumlah Ekonom Nilai BBTN Layak Terima PMN

Laba Bersih BBTN Tumbuh 57,12% Jadi Rp1,97 Triliun

JAKARTA- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) selama delapan

KOPITU Siap Fasilitasi Program Sister City Kota Probolinggo Dengan Kota di Korsel, Jepang dan Australia

JAKARTA-Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu (KOPITU) siap memfsilitasi