Hanya 9 Gugatan Yang Lolos, MK Sangat Konservatif

Wednesday 27 Jan 2016, 5 : 59 pm
by
Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani

JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya hanya meloloskan sembilan perkara sengketa pilkada 2015 dari 147 permohonan gugatan perselisihan hasil pilkada (PHP) dari seluruh daerah. Sembilan perkara itu dinyatakan lolos kualifikasi syarat formil sehinga layak untuk dilanjutkan ke agenda pemeriksaan pokok perkara.

9 Sengketa pilkada tersebut adalah Solok Selatan dengan selisih 501 suara, Kuantan Sengingi dengan selisih 348 suara, Bangka Barat dengan selisih 250 suara, Kotabaru dengan selisih 332 suara, Muna dengan selisih 33 suara, Sula dengan selisih 169 suara, Halmahera Selatan dengan selisih 18 suara, Mambramo Raya dengan selisih 149 suara dan Teluk Bintuni dengan selisih 7 suara.

Sedangkan sebanyak 5 perkara ditarik dan sisanya sebanyak 133 permohonan dinyatakan tidak diterima dengan alasan tidak memenuhi syarat selisih maksimal yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan karena daluarsa atau melampaui batas waktu yang ditetapkan.

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai hasil sidang pendahuluan ini menggambarkan melemahnya praktik judicial activism. Padahal, hakim MK memungkinkan menghasilkan putusan-putusan yang progresif, out of the box dari apa yang ditentukan oleh UU demi menghasilkan keadilan konstitusional bagi warga negara. “Dalam perkara PHP pilkada serentak 2015, jelas tergambar bahwa konservatisme di tubuh MK telah menguat,” terangnya.

Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan MK mengutamakan syarat formil secara rigid, meski mengabaikan keadilan elektoral. MK sama sekali tidak menyentuh dan tidak mempertimbangkan berbagai kecurangan yang dilakukan calon untuk memperoleh kemenangan. “Peradilan pilkada boleh saja berbangga terbebas dari suap, tetapi gagal memvalidasi kemenangan pasangan calon karena pemeriksaan kebenaran materiil diabaikan MK,” tuturnya.

Hal ini mengambarkan MK malas bekerja menjalankan perintah UU. Meski peradilan pilkada adalah amanat sementara, tetapi pragmatisme hakim MK membuat integritas pilkada dan peradilan pilkada gagal diuji. Karena itu, pemerintah dan DPR harus memastikan Pasal 158 menjadi agenda revisi UU Pilkada, termasuk kemungkinan menyegerakan pembentukan peradilan pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi pilkada, pidana pilkada, dan sengketa pilkada dalam satu badan yang terintegrasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Sejak Saham Dicatat di BEI, Kinerja FITT Terus Mengalami Kerugian

JAKARTA-Kinerja keuangan PT Fitra International Tbk (FITT) pada Semester I-2020

Menko Luhut: Saya Tidak Tahu Tentang Mayfair International Ltd

JAKARTA-Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tidak tahu menahu tentang