Biaya per Perkara di MK, 2014 Rp Rp359,1 Juta, 2016 Cuma Rp59,4 Juta

Monday 18 Jan 2016, 6 : 15 pm
by
Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi

JAKARTA-Center For Budget Analysis (CBA) menuding Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pemalas karena tetap mempergunakan Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 dalam menyidangkan perkara sengketa pilkada dan bukan berpedoman kepada UU Nomor 8 Tahun 2015. Sikap malas MK disebabkan alokasi anggaran untuk menggelar perkara dari APBN sangat minim. “Rendahnya anggaran membuat MK ogah banyak menyidangkan sengketa perkara Pilkada. Dari 147 perkara yang masuk ke MK, yang disidangkan oleh MK hanya sekisar dibawah 10 perkara saja,” ujar Direktur CBA Uchok Sky Khadafi di Jakarta, Senin (18/1).

Uchok lalu membandingkan besaran biaya perkara sengketa pilkada pada 2014 dan 2016 ini.

Menurut Uchok, pada tahun 2016 total anggran menyidangkan perkara sengketa Pilkada total hanya sebesar Rp 21, 7 miliar. Ini artinya, setiap perkara menghabiskankan anggaran sebesar Rp 59, 4 juta. “Dan kalau ada 9 hakim MK, maka setiap hakim akan mendapat alokasi anggaran hanya sebesar Rp6, 6 juta perorang.

Padahal kata Uchok, pada tahun 2014 saja, alokasi anggaran sengketa pilkada di MK sebesar Rp 59, 6 Miliar. Artinya, tiap perkara akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 359, 1 juta. “Kalau ada 9 hakim MK maka setiap hakim diperkirakan akan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp39,9 juta perorang,” urainya.

Uchok mengatakan hasil Pilkada 9 Desember 2015 telah digelar secara serentak di seluruh Indonesia memang tidak bisa memuaskan semua pihak karena sudah dipastikan yang terbanyak yang akan memenangkan pertarungan. Akan tetapi, pilkada tentunya bukan hanya sekedar hasil siapa yang yang terbanyak semata, namun harus juga dilalui dengan proses yang jujur dan adil. “Apabila terdapat pasangan calon yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah pada lembaga peradilan yang ditentukan oleh UU,” tuturnya.

MK lanjutnya merupakan lembaga peradilan yang memegang kekuasaan dalam pengujian UU maupun penyelesaian sengketa pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah. Akan tetapi harapan untuk mencari keadilan bagi para pasangan calon yang merasa dirugikan atas hasil perolehan suara yang telah diumumkan sepertinya kandas ditengah jalan atau ditangan MK  dikarenakan MK mempergunakan pembatasan syarat selisih suara bukan berpedoman kepada kewenangan diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 2015.

Hal ini membuktikan, hakim MK  lebih berpegang kepada penafsiran yang tertuang dalam Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Jika MK tetap menerapkan Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015, bukan berpedoman kepada UU Nomor 8 Tahun 2015, maka MK tidak mewujudkan  keadilan subtantif.  “Dan bahwa MK harus mempertanggungjawabkan kepada publik atas tafsir yang membingungkan yang ternyata sama sekali tidak memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan,” tuturnya.

Untuk itu, Direktur CBA ini meminta kepada DPR melalui Komisi II yang membawahi pengawasan terhadap pelaksanaan UU Kepemiluan perlu memberikan teguran yang keras atas MK atas seenak saja menafsirkan hukum perkara sengketa pilkada yang membingungkan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pendapatan Anjlok 75,73%, Kinerja OASA Per Kuartal III-2022 Berbalik Merugi

JAKARTA-PT Maharaksa Biru Energi Tbk (OASA) elama sembilan bulan pertama

Calon Anggota KASN Mengerucut Tinggal 17 Orang

JAKARTA-Tim Panitia Seleksi (Pansel) anggota Komite Aparatur Sipil Negara (KASN)